Inspirasi Kang Tris Dari Sebuah Lincak, Menjadikan Dusun Tanon Berdaya

Kang Tris disamping lincak yang memberinya inspirasi dalam mengembangkan potensi Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan di bidang wisata hingga menjadi salah satu Desa Wisata Binaan Astra, Sabtu (01/06/2019). (Foto: dok. istimewa/ASB)

Ungaran, beritaglobal.net – Terlahir dari keluarga petani di sebuah dusun di kaki Gunung Telomoyo, Trisno (38) atau akrab disapa Kang Tris, berhasil menjadikan Dusun Tanon, tempat kelahirannya, menjadi sebuah dusun yang mempunyai daya saing dan menjadi role model, dusun – dusun di sekitarnya.

Tumbuh di Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, yang kala itu dikategorikan sebagai salah satu desa tertinggal, Trisno menjadi satu-satunya pemuda yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana. Pada tahun 2005, pria kelahiran 12 Oktober 1981 ini mendapat gelar sarjana dari Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Baca juga : Bocah – Bocah Lucu Sambut Pengunjung di Desa Menari

Sempat bekerja sebagai pemandu outbond di Solo, Kang Tris mengambil keputusan untuk kembali ke desanya, dengan dukungan sang istri yang berprofesi sebagai apoteker. Mencoba mengembangankan konsep Desa Wisata.

Kang Tris dengan latar belakang piagam penghargaan dan sertifikat yang diraihnya bersama warga Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, di ruang tamu rumahnya. (Foto: dok. istimewa/ASB)
Baca Juga:  Bantuan sosial Non Tunai Tahap III dari provinsi Jawa Tengah.

“Konsep awal saya dari pendekatan pariwisata, dengan mengandalkan potensi yang ada di Dusun Tanon. Karena mayoritas masyarakat disini adalah petani dan peternak. Saya mulai mengembangkan desa wisata sejak tahun 2007 silam,” ungkap Kang Tris kepada beritaglobal.net, Sabtu (01/06/2019).

Dirinya menilai bahwa desa wisata berbeda dengan wisata desa. Desa wisata lebih pada mengutamakan pembangunan kesadaran masyarakat dalam mengembangkan wilayahnya secara mandiri dan bergotong – royong.

“Bila wisata desa yang kita ambil sebagai pendekatan, kita akan berfikir pada infrastruktur terlebih dahulu. Namun kita tidak memperkuat kesadaran peran serta masyarakatnya, bahwa apa yang kita bangun adalah dari kita untuk kita,” imbuhnya.

Pasar Rakyat, tempat warga Dusun Tanon menjajakan produk asli mereka dikala ada festival dan kunjungan dari para wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. (Foto: dok. istimewa/ASB)

Kang Tris mencontohkan, bahwa dirinya dan warga Desa Tanon pernah mendapatkan bantuan dari sebuah BUMN untuk mengembangkan peternakan, namun karena mental dan kesadaran warga belum terbangun, akhirnya program berjalan stagnan dan seringkali memunculkan konflik dari sejumlah dana yang dikelola.

Hal inilah, yang membuat Kang Tris memutar akal, untuk menyadarkan warga. Awalnya dirinya mempelajari pola waktu untuk melakukan diskusi dengan warga agar tidak mengganggu aktivitas keseharian mereka dalam mencari nafkah. Ditemukanlah waktu yang tepat, di malam hari, untuk membahas pengembangan potensi dusun dari kemampuan masing – masing warga.

Baca Juga:  Jurnalisme Konstruktif: Menjawab Kejenuhan Pembaca dengan Berita Solutif

“Setelah pola pembelajaran terbentuk, semua terasa menjadi mudah. Awalnya kami membuat lincak – lincak (tempat duduk dari bambu), untuk tempat berkumpul dan dengan menebang pohon – pohon cengkih di halaman rumah ayah saya. Sekarang tempatnya menjadi arena kami untuk berkreasi kala menerima kunjungan wisatawan,” jelas Kang Tris.

Tercetuslah produk sabun susu hasil inovasi Kang Tris bersama warga dusun yang pernah menjadikan dirinya sebagai  Pemuda Pelopor Bidang Peternakan Jateng pada tahun 2009. Ide liarnya berkembang menjadikan Dusun Tanon lebih berdaya, dari hasil kunjungan para wisatawan ataupun peserta studi banding dari daerah lain, masing – masing warga mendapatkan income tambahan dan kas kelompok bertambah untuk lebih melengkapi kekurangan infrastruktur serta peralatan yang telah dimiliki.

Setalah kami memiliki pola pengelolaan kegiatan dusun, akhirnya kami “dipinang” Astra, untuk dijadikan mitra dalam pengembangan budaya. Lahirlah Desa Menari, dengan jenis tari seperti rodat, topeng ayu, kuda lumping, kuda debog, dan warog kreasi.

“Para penari adalah warga disini mulai dari anak balita hingga para manula mas,” terang Kang Tris.

Baca Juga:  Prajurit TNI AL Berhasil Menggagalkan Penyelundupan 70 Kg Narkoba di Pelabuhan Bakauheni

Ada hal menarik dalam uraian Kang Tris yang dapat menjadikan Dusun Tanon menjadi primadona para perangkat desa dari wilayah Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Jepara. Ketertarikan mereka adalah, kesan bahwa ketika masuk ke Dusun Tanon, tidak ada aktivitas wisata, namun saat ada festival, Tanon menjadi terkenal dengan kreasinya.

“Kami punya waktu untuk tetap beraktivitas, sebagai petani dan peternak. Karena itulah naluri kami disini, bila semua beralih ke wisata, bisa menumbuhkan persaingan yang kurang sehat dalam masyarakat. Karena tidak semua dari mereka mampu bertahan dan lebih berkembang dalam industri pariwisata,” terangnya.

Dari pengalaman yang telah dialaminya, Kang Tris menilai bahwa bila pariwisata dilihat dari obyek, maka akan cepat tergusur oleh obyek baru lainnya. Namun bila wisata dimulai sebagai subyek, maka pariwisata akan terus berkembang seiring dengan perkembangan potensi dan sumber daya yang dimiliki dari sebuah kawasan.

“Dari apa yang telah kami kembangkan, akhirnya kami mampu saling topang, bila ada warga yang sakit ada bantuan dalam pengobatan, dan saat ini kami tengah mengembangkan program beasiswa untuk anak – anak Dusun Tanon yang berprestasi,” tandasnya. (Agus S/KHM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!