Aptrindo Jateng Inisiasi FGD Bertema Kupas Tuntas Kebijakan ODOL
![]() |
Penjelasan singkat terkait FGD tentang PP No 74/2014 tentang Angkutan Jalan dan PP No 55/2012 tentang Kendaraan di Hotel Patra, Kota Semarang, Rabu (05/09/2018). |
Semarang, beritaglobal.net – Adanya kebijakan tentang penertiban muatan over dimensi dan over load (ODOL), berdasar dari Peraturan Pemerintah (PP) No 74/2014 tentang Angkutan Jalan dan PP No 55/2012 tentang Kendaraan, menyulut penolakan dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Jawa Tengah.
“Kebijakan pembatasan muatan yang didasari peraturan pemerintah itu tidak sesuai dengan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Karena jika berdasarkan Pasal 7 PP 74/2014 ketika kendaraan over – load, muatan segera diturunkan di jalan. Hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan UU,” kata Ketua Aptrindo Jawa Tengah Chandra Budiwan kepada wartawan di sela – sela acara Forum Group Discussion (FGD) bertema Kupas Tuntas Kebijakan ODOL di Hotel Patra, Semarang, Rabu (05/09/2018).
Memberikan detail informasinya Chandra menambahkan, seperti tertuang pada UU, yang diperbolehkan untuk memberikan sanksi adalah hakim yakni melalui persidangan, namun kenapa ini justru langsung dieksekusi/ditindak ditempat.
“Itu jelas merugikan, seharusnya aparat penegak hukum dalam menertibkan dan menindak angkutan barang yang over load dan over dimension berpegang dengan UU No. 22/2009. Maka jika ada kendaraan yang melanggar aturan tersebut cukup diberi sanksi berupa pemberian surat tilang. Tapi, kenyataan yang terjadi saat ini justru banyak angkutan yang kedapatan melanggar aturan muatan atau over capacity malah dipaksa untuk menurunkan muatannya,” ungkap Chandra.
![]() |
Ratusan pengusaha jasa angkutan barang yang tergabung dalam Atprindo Jateng dan Atprindo Jatim menghadiri FGD tentang ODOL |
Sebagai akibat penurunan paksa atas muatan di jalan, tentunya sangat merugikan pengusaha jasa angkutan umum dan berdampak pada keterlambatan jasa pengiriman barang.
“Harusnya dalam menindak menerapkan UU bukan peraturan pemerintah, karena UU merupakan produk hukum tertinggi,” jelas Chandra.
Senada dengan Ketua Atprindo Jateng, Ketua Aptrindo Jatim, Ariel Wibisono mengemukakan pendapatnya terkait penolakan dalam penerapan PP 55/2012 dan PP 74/2014 dalam penertiban angkutan barang. Menurut Ariel, kebijakan tersebut diterapkan pemerintah hanya untuk kepentingan melindungi infrastruktur jalan saja dan tanpa memikirkan kepentingan pengusaha angkutan barang.
“Dalam hal ini kami selaku pengusaha angkutan barang tentunya mendorong pembentukan peraturan baru, yang lebih baik dan bisa diterima seluruh pihak,” ungkap Ariel Wibisono.
Ariel juga berharap bahwa adanya peraturan dapat mengakomodir kepentingan semua pihak, salah satunya adalah para pengusaha angkutan barang.
“Jika memang niatnya dalam aturan baru nanti juga untuk melindungi infrastruktur nantinya bisa dituangkan aturannya,” harap Ariel.
Sementara Kepala Dinas Perhubungan Jawa Tengah Satrio, terkait kebijakan PP 74/2014 jo PP 55/2012 yang menyebut salah satu sanksi ODOL adalah dengan dilakukan sanksi penurunan barang, namuh tindakkan tersebut juga tidak bisa sembarangan dilakukan.
Oleh karena itu Satrio menghimbau agar para pengusaha untuk menghindari angkutan yang overdimensi dan overload.
“Kami himbau bagi para pengusaha agar menghindari angkutan yang overdimensi dan overload. Karena sebagai dampak over dimensi dan over load muatan, selain merugikan jalan juga merugikan bagi pengusaha,” ungkap Satrio.
![]() |
Dr. Krishna Djaya Darumurti, S.H., M.H., sebagai salah satu nara sumber dalam FGD ODOL |
Secara terpisah, salah satu nara sumber dalam acara FGD dengan tema Kupas Tuntas Kebijakan Over Dimensi dan Overload (ODOL), dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Dr Krishna Djaya Darumurti, S.H., M.H., pakar hukum UKSW yang juga menjabat sebagai Direktur Indonesia Coruption Investigation (ICI) Jawa Tengah, menyampaikan kepada beritaglobal.net melalui pesan singkat terkait peraturan pemerintah yang mengatur ketentuan muatan barang, meskipun peraturan tersebut sudah berlaku selama 9 tahun, namun menurutnya sistem satu kesatuan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang diamanatkan oleh UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan belum terwujud atau boleh dibilang gagal.
“Kegagalan terbentuknya sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut ternyata berimplikasi kepada carut marutnya pelaksanaan ketentuan beban muatan dan dimensi kendaraan bermotor angkutan jalan,” ungkap Krishna.
Krishna menambahkan keterangannya, “Tidak heran, bila pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran beban lebih muatan tidak berjalan sebagaimana mestinya,” tandas Krishna. (ASB/Red)
Tinggalkan Balasan