Dugaan Jual Beli Los Pasar, Cerita Haru Pedagang Pasar Tradisional

Gambar Denah Los Pasar Gedhangan yang di duga ada praktek jual beli los

Ungaran, beritaglobal.net – Roda ekonomi konon katanya banyak ditopang oleh Usaha Kecil Menengah, seperti pernah terjadi saat badai krisis ekonomi di era tahun 90 an atau menjelang era Reformasi.  Banyak perusahaan besar kala itu harus menutup dan mempailitkan usahanya.

Pada era itu, usaha kecil menengahlah yang masih bisa bertahan. Namun sungguh menjadi ironis pada saat mereka mampu memberi kontribusi bagi geliat ekonomi nasional, harus beradu ‘otot’ dengan gempuran pusat perbelanjaan modern atau toko waralaba modern.

Pantauan beritaglobal.net pekan ini membuat kita semua berfikir ulang dengan gadhang – gadhang usaha kecil menengah sebagai penopang roda ekonomi nasional.

Sebagai contoh, terdapat sebuah pasar tradisional di Desa Gedhangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Dari hasil pantauan beritaglobal.net sejak Senin (29/01/2018), terdapat beberapa polemik klasik dalam pemugaran bangunan pasar, hingga pembagian ‘jatah’ los/lapak tempat pedagang kecil menjalankan usahanya.

Cerita tentang proses relokasi yang membingungkan, hingga janji – janji tidak adanya pengurangan hak dari pemilik lapak lama yang sudah terdaftar di catatan Dinas Pasar Gedhangan dan berbeda dengan kenyataan yang terjadi setelah bangunan pasar menjadi rapi.

Beberapa pedagang yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa lapak/los tempat mereka berjualan menciut luasannya dari luasan lapak awal dulu mereka tempati.

Baca Juga:  Kecelakaan Maut di Jalan Raya Gunung Eleh, Dua Nyawa Melayang 

“Saya dulu punya lapak dengan luas kurang lebih 4 meter persegi, namun setelah pasar dipugar, lapak yang dialokasikan untuk saya justru jadi berkurang separuhnya,” ungkap pedagang tersebut.

Ditambahkan lagi oleh pedagang lainnya, sebut saja Karjo (54) yang telah berdagang di pasar tersebut sejak masih muda. Lapaknya yang awalnya di deretan depan dan luas hampir 12 meter persegi jadi menciut menjadi sekitar 9 meter persegi. Saat Karjo menanyakan kepada ‘Lurah’ pasar, hanya dijawab bahwa semua itu sudah aturan dan harus di taati.

“Saya berdagang di sini sejak saya masih muda, Mas. Sekarang anak sudah pada dewasa, los tempat saya berdagang dulu sekitar 12 meter persegi sebelum dibangun. Namun sekarang menjadi hanya 9 meter persegi. Waktu saya tanyakan ke lurah pasar, ya hanya dapat jawaban kalau itu sudah jadi aturan, pedagang disini harus nurut,” cerita Karjo dengan nada kesal.

Terusik oleh balada pedagang tradisional di pasar Gedhangan, tim beritaglobal.net, mencoba menemui Kepala Desa setempat, namun hari itu belum berhasil.

Barulah hari Selasa (30/01/2018) malam, Kades Desa Gedhangan Daroji dapat ditemui di kediamannya. Ternyata, banyak cerita dibalik carut marutnya penataan lapak para pedagang tradisional.

Baca Juga:  Anggota Polres Salatiga Bersama Jajaran Bantu Bersihkan Lokasi Bekas Kebakaran

Diungkapkan oleh Daroji bahwa sebetulnya pasar adalah juga bagian milik Desa dengan perbandingan 60 banding 40. 60% pendapatan pasar masuk ke Dinas Perdangan Koperasi dan UKM Kabupaten Semarang, 40% pendapatan masuk ke kas Desa sebagai pendapatan asli desa.

Namun diungkapkan pula oleh Daroji, bahwa dirinya jarang sekali dilibatkan dalam pengelolaan pasar, terutama pada saat sebelum pasar dipugar hingga proses pembagian lapak setelah pemugaran pasar.

“Sebetulnya pendapat pasar dibagi 60% masuk ke Kas Daerah melalui Dinas Perdagangan Koperasi dan UKM Kabupaten Semarang, 40% ke kas Desa Gedhangan sebagai pendapatan asli desa,” terang Daroji.

Lebih lanjut dijelaskan, “Saya jarang sekali dilibatkan dalam pengelolaan pasar, terutama pada saat sebelum pasar dipugar hingga proses pembagian lapak setelah pemugaran pasar,” turur Daroji.

Gambar denah lapak awal yang telah diketahui pedagang dan Kades Gedhangan, banyak mengalami perubahan dengan alasan adanya penggabungan beberapa lapak milik satu orang pedagang dan alokasi jalan pasar dengan dasar kebijakan yang tidak dijelaskan.

Daroji menambahkan asal muasal terjadinya polemik di Pasar Gedhangan adalah kurang tegasnya sikap ‘lurah’ pasar.

“Asal mula polemik di pasar Gedhangan adalah sikap tidak tegas dari ‘lurah’ pasar, dan sudah saya minta koordinasinya sejak awal bulan Januari,” tambah Daroji dengan nada tinggi.

Baca Juga:  Police Goes to School: Kapolres Boyolali Motivasi Pelajar untuk Disiplin dan Patuh Hukum

Daroji mendapatkan informasi adanya permasalahan di pasar adalah dari kontak Kepala Dinas Perdagangan Koperasi UKM Kabupaten Semarang melalui sekretaris paguyuban kepala desa Kabupaten Semarang.

“Saya pikir pembagian lapak sudah selesai, tetapi justru ada polemik tentang pembagian lapak. Hal ini terjadi karena kurangnya koordinasi ‘lurah’ pasar dengan kami selaku pemerintah Desa Gedhangan,” lanjut Daroji.

Saat dikonfirmasi mengenai alokasi lapak kosong tanpa nama pedagang tidak bisa dijelaskan detail oleh Kades Gedhangan karena tidak ada komunikasi dengan pengelola pasar.

“Lapak kosong itu Mas, berdasar pada penjelasan kepala dinas adalah untuk pedagang yang dulunya tidak mendapat lapak di dalam pasar, detailnya lurah pasar yang mengerti,” cerita Daroji.

Diakhir cerita Kades Daroji mengajak awak media untuk bertemu dengan lurah pasar, Kepala Dinas Perdagangan Koperasi dan UKM dan perwakilan pedagang pasar Jumat (02/02/2018), namun sampai berita ini diturunkan tidak ada undangan maupun informasi lebih lanjut tentang penyelesaian polemik pembagian lapak di Pasar Gedhangan.

Menjadi catatan kecil beritaglobal.net bahwa rekanan kontraktor pasar Gedhangan adalah milik salah satu anggota DPRD Kabupaten Semarang.

Sampai berita ini diturunkan janji Kades Gedhangan untuk mempertemukan semua pihak belum dapat di konfirmasi lebih lanjut. (SRY/Agus S)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!