Aphelion Fenomena Astronomi Terjadi Setahun Sekali, Berikut Penjelasan BMKG
![]() |
Ilustrasi kondisi awan tipis di atmosfer bumi |
Ungaran, beritaglobal.net – Sepekan terakhir, cuaca dingin ekstrim dirasakan masyarakat Indonesia, sebagai akibat dari efek Aphelion. Cepatnya kabar tersebar tentang sekilas pemahaman Aphelion, menimbulkan keresahan di masyarakat.
Berdasar relase di terima beritaglobal.net dari laman Info BMKG, Jumat (06/07/2018), oleh Deputi Bidang Meteorologi Mulyono R. Prabowo menjelaskan bahwa Aphelion adalah fenomena astronomi yang selalu terjadi setahun sekali di bulan Juli. Sementara itu pada waktu yang sama, wilayah Indonesia memasuki periode musim kemarau. Hal ini seolah Aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di wilayah Indonesia.
Fakta akan penurunan suhu di bulan Juli belakangan ini lebih disebabkan karena di beberapa wilayah di Indonesia khususnya, Jawa, Bali, NTB dan NTT, kandungan uap di atmosfer cukup sedikit. Hal ini tampak pada tutupan awan yang tidak signifikan pada beberapa hari terakhir. Secara fisis, uap air dan air adalah zat yang paling efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga, rendahnya kandungan uap air di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer sehingga energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer terdekat dengan permukaan bumi tidak meningkat signifikan. Hal ini menyebabkan suhu udara di wilayah Indonesia pada musim kemarau lebih rendah dibanding saat musim hujan atau peralihan.
Kondisi yang bertolak belakang pada saat musim hujan atau peralihan dimana kandungan uap air cukup banyak yang memungkinkan atmosfer menjadi “reservoir panas” di malam hari.
Selain itu, pada bulan Juli ini wilayah Australia memasuki musim dingin. Sedangkan sifat dari massa udara di Australia lebih dingin dan kering. Ditambah adanya pola tekanan udara yang lebih tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia semakin signifikan sehingga berdampak pada penurunan suhu udara yang cukup signifikan pada malam hari khususnya di wilayah Jawa, Bali, NTB dan NTT.
Dalam release tertulisnya, Mulyono menjelaskan lebih lanjut bahwa berdasar pada pemantauan BMKG di seluruh wilayah Indonesia pada 1 hingga 5 Juli 2018, suhu udara kurang dari 15 derajat Celcius yang tercatat di beberapa wilayah Indonesia khususnya di dataran tinggi/kaki gunung seperti Frans Sales Lega (NTT), Wamena (Papua), dan Tretes (Pasuruan) dimana suhu udara terendah tercatat di Frans Lega (NTT) mencapai 12.0 derajat Celcius pada tanggal 04 Juli 2018.
Sementara itu, untuk wilayah di Indonesia lainnya selisih suhu terendah selama awal bulan Juli ini terhadap suhu rata – rata selama 30 hari terakhir tidak begitu besar. Hal ini menjadikan fenomena Aphelion yang terjadi di wilayah Indonesia tidak berpengaruh signifikan pada penurunan suhu, sehingga masyarakat diharapkan tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan terhadap informasi yang menyatakan bahwa akan terjadi penurunan suhu ekstrem akibat Aphelion di Indonesia. (Fera M)
Tinggalkan Balasan