BPPTKG Yogyakarta Gelar Geohazard Seminar Sebagai Kilas Balik Erupsi Merapi 2010

Subandrio selaku Fungsional Penyelidik Bumi Madya BPPTKG saat memberikan paparan dengan dibelakangnya duduk berurutan dari kiri Hanik Humaida, Sarwa Pramana, Yulianto dan Sunarto, dalam Seminar Geohazard di Hall Kantor BPPTKG Yogyakarta, Senin (05/11/2018).

Salatiga, Beritaglobal.net – Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menggelar seminar bertajuk Geohazard Seminar sebagai rangkaian acara peringatan sewindu erupsi Merapi tahun 2010. Seminar yang diadakan di Hall kantor BPPTKG jalan Cendana No 15 Yogyakarta ini dihadiri oleh sedikitnya 150 peserta dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng, BPBD DIY, BPBD Boyolali, BPBD Klaten, BPDB Magelang, Pusdalob DIY, SAR DIY, mahasiswa dan umum.

Seminar sehari yang digelar pada Senin (05/10/2018), tersebut menghadirkan Hanik Humaida selaku Kepala BPPTKG, Sarwa Pramana selaku Kepala Pelaksana Harian BPBD Jateng, Subandrio selaku Fungsional Penyelidik Bumi Madya BPPTKG, Sunarto Pengamat Sektor Selatan Merapi serta Yulianto Pengamat Sektor Barat Merapi, sebagai narasumber.

Dalam memaparkan kilas balik erupsi Merapi tahun 2010, Hanik Humaida selaku Kepala BPPTKG Yogyakarta menekankan pentingnya mempelajari karakter erupsi tahun 2010 yang memang sedikit berbeda dari erupsi sebelumnya.

Baca Juga:  Komandan Kodim 0714/Salatiga, Terima Penghargaan Juara 1 Kategori Dansatgas Terbaik Lomba Karya Jurnalistik TMMD Reguler ke 102 Tahun Anggaran 2018 Dari KSAD di Jakarta

“Dalam menentukan skenario menghadapi Merapi saat ini yang terpenting kita tidak melupakan sejarah. Seperti apa kondisi dan dampak saat itu. Untuk itulah kami selalu memberi edukasi tentang mitigasi bencana erupsi Merapi kepada masyarakat terutama yang tinggal di wilayah KRB serta para stakeholder yang ada di seputar Merapi. Kami juga membangun kerjasama dengan berbagai institusi untuk terus memperbaiki pemantauan vulkanik sehingga dapat memberikan informasi yang tepat dan akurat kepada khalayak umum,” imbuh Hanik Humaida.

Sementara itu Sarwa Pramana, Kepala Pelaksana Harian BPBD Jateng, menyebutkan bahwa saat ini BPBD telah membentuk Desa Bersaudara / Sister Village di wilayah Boyolali, Klaten, Magelang sebagai wilayah terdampak erupsi Merapi. Pada prinsipnya Sister Village merupakan program yang mengedepankan 1 desa terdampak maka 1 desa lainnya akan menjadi desa penyangga. Namun diakui Sarwa bahwa sistem ini memiliki beberapa kelemahan diantaranya, jika ada pengungsi yang notabene bukan kerabat  maka  akan mengganggu privasi pemilik rumah apalagi jika ngungsi lebih dari satu minggu. Disamping itu fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) juga belum memenuhi untuk kebutuhan pemilik rumah dan pengungsi. Sarwa menegaskan bahwa urusan bencana bukan hanya wewenang pemerintah melainkan tanggung jawab seluruh elemen masyarakat dan pelaku usaha. Sampai saat ini banyak tantangan yang dihadapi pemerintah diantaranya jalur evakuasi yang rusak dan perlu diperbaiki.

Baca Juga:  Spesialis Pencuri Peralatan BTS, Tak Berdaya Di Tangan Satreskrim Polres Salatiga

“Jalur evakuasi yang banyak  dilalui truk pasir sehingga memperparah kerusakan serta belum terpenuhinya gladi secara serentak di wilayah terdampak,” ungkap Sarwa Pramana.

Subandrio, Fungsional Penyelidik Bumi Madya BPPTKG, menambahkan jika selama ini yang menjadi kelemahan kita adalah  tidak adanya satu badan khusus yang mempunyai otoritas terhadap bencana. Selama ini masih ditangani oleh beberapa badan pemerintah.

“Sebelum tahun 2000 an pemerintah sering terlambat menaikkan status Awas. Tahun 2006 pemerintah lagi-lagi menuai kegagalan dengan menurunkan status sebelum erupsi mencapai puncaknya, akibatnya setelah status diturunkan Merapi malah mengalami erupsi. Masyarakat jadi kurang percaya pada lembaga pemerintahan. Masyarakat lereng selatan lebih percaya pada  hal-hal yang bersifat supranatural/kearifan lokal,” tutur Subandrio.

Baca Juga:  Pulihkan Ekonomi Keluarga Korban Kanjuruhan, Polres Malang Salurkan Bantuan UMKM Tepat Sasaran

Sunarto dan Yulianto menambahkan cerita pengalaman mereka sebagai pengamat Merapi yang selalu menjadi garda paling depan dalam menginformasikan kondisi Merapi di lapangan, baik saat tenang maupun saat erupsi. Keduanya mengakui sempat takut menghadapi awan panas yang tak jarang meluluh lantakkan daerah sekitar pos pengamatan. Namun demi panggilan tugas keduanya rela tetap berada di lapangan.

“Jika penduduk diungsikan sebelum awan panas muncul. Maka pengamat justru diungsikan setelah awan panas mereda,” tutur Sunarto disambut derai tawa audien.

Acara yang berlangsung selama lebih dari dua jam tersebut ditutup dengan pemberian penghargaan kepada para pemenang lomba foto tentang Merapi yang diadakan oleh BPPTKG. (**)

Ditulis oleh: Vitri Prabawani
Editor : Fera Marita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!