Jejak Aktivisme Prabowo Subianto: Jejaring, Gie, dan Romantika Masa Muda
Catatan harian Soe Hok Gie menyimpan nama Prabowo Subianto. Di antara diskusi politik, kegiatan LSM, dan perjalanan ke Bandung, terurai fragmen masa muda sang jenderal: idealis, lincah, namun disebut “self interest”.
Editor: Wahyu Widodo
Jakarta | SuaraGlobal.com – Di mata publik, Prabowo Subianto dikenal sebagai perwira tinggi, eks Danjen Kopassus yang menjelma menjadi politisi nasional. Tapi siapa sangka, di masa mudanya, Prabowo pernah berkelindan dalam lingkar aktivisme. Bersama Soe Hok Gie—mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang keras mengkritik Orde Lama—Prabowo muda mencicipi atmosfer diskusi, kritik, dan bahkan pendirian LSM.
Jalinan itu terekam dalam Catatan Seorang Demonstran, buku harian Gie yang terbit setelah ia wafat. Dalam beberapa bagian, nama Prabowo muncul. Gie menyebutnya dengan sapaan akrab: “Bowo”. Mereka kerap bertemu dan berdiskusi, terutama di tahun-tahun awal Orde Baru, saat suhu politik nasional masih hangat oleh transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto.
Pada 7 Mei 1969, Gie mencatat kegiatannya berkeliling bersama Bowo ke Departemen Luar Negeri, Lembaga Ketahanan Nasional, hingga Hankam. Usai itu, mereka berkumpul di rumah Gie bersama beberapa kawan: Didit, Tjarlie, dan Jopie. Beberapa hari kemudian, 15 Mei, Gie menghadiri acara di rumah Sumitro Djojohadikusumo—ayah Prabowo—bersama tokoh Sjahrir. Tiga hari berselang, Gie, Prabowo, dan kawan-kawan meluncur ke Bandung. Di sana, hubungan mereka diuji.
“Saya punya kesan Bowo tetap remaja yang kehilangan romantiknya dan sifatnya agak self interest,” tulis Gie. Ia mengeluhkan sikap Prabowo yang dinilainya kurang menghargai perasaan seorang teman perempuan mereka, Nikky. Namun, di balik kekesalan itu, Gie tetap melanjutkan percakapan panjang dengan Prabowo hingga larut malam. “Mulai dari Korps Pioneer Prabowo hingga persoalan pribadi,” tulisnya lagi.
Pada 25 Mei 1969, Gie kembali menyentil karakter Bowo dalam catatannya. “Ia cepat menangkap persoalan dengan cerdas tapi naif. Mungkin kalau ia berdiam 2–3 tahun dan hidup dalam dunia nyata, dia akan berubah.”
Meski begitu, hubungan keduanya terbilang dekat. Saat Gie meninggal di puncak Semeru, 16 Desember 1969, Prabowo disebut sebagai salah satu anak muda yang ikut menyerahkan karangan bunga di pemakamannya.
Jejak LSM dan Korps Pioneer
Prabowo menyebut keterlibatannya dalam lembaga swadaya masyarakat dimulai sejak usia 17 tahun. Dalam wawancaranya dengan kantor berita Antara tahun 2014, ia menyatakan telah membentuk LSM Pembangunan bersama mahasiswa dan pemuda. “Saya sudah berurusan dengan desa sejak usia 17 tahun,” kata pria kelahiran Jakarta, 17 Oktober 1951, itu.
Kegiatan tersebut ia lanjutkan lewat organisasi bernama “Korps Pioneer”. Saat masuk militer, ia mewajibkan setiap tentara membuka lahan pertanian sebagai bagian dari kontribusi terhadap desa. Namun, peran Prabowo di dunia LSM nyaris tak terdokumentasikan secara luas. Bahkan dalam sejarah LSM di Indonesia, kiprahnya di era 1960-an lebih merupakan fragmen personal yang hanya tercatat dalam buku harian Soe Hok Gie.
Antara Gie dan PSI
Jalinan Prabowo dengan dunia aktivisme tak bisa dilepaskan dari sang ayah, Sumitro, seorang teknokrat dan politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI). Di masa itu, Gie juga kerap disebut-sebut memiliki kedekatan dengan PSI. Namun, kedekatan itu tidak membuatnya menahan kritik. Ia bahkan pernah menyebut tokoh PSI seperti Rosihan Anwar sebagai pribadi yang “dingin dan kaku”.
Rosihan membalas kritik itu dalam Sejarah Kecil Indonesia. Ia menyindir Gie sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih, bahkan menyebut Gie menghindar saat mereka berpapasan di Monas.
Namun Gie tetap tak tunduk. Ia menulis, berdiskusi, dan bergaul dengan banyak kalangan. Di antara nama-nama itu, terselip seorang anak muda dari keluarga elit birokrat: Prabowo Subianto.
Romantika Sebelum Seragam
Fragmen masa muda Prabowo di buku harian Gie bukan sekadar catatan biasa. Ia menyibak sisi Prabowo yang jarang terungkap—bukan sebagai jenderal, bukan sebagai politisi, tapi sebagai remaja idealis yang sedang mencari bentuk. Seseorang yang—meminjam istilah Gie—cepat menangkap persoalan, tapi belum matang dalam menyelaminya.
Kini, puluhan tahun sejak nama “Bowo” tertulis di balik halaman-halaman Catatan Seorang Demonstran, sosok itu telah menempati kursi kekuasaan. Tapi jejaknya di masa muda—bersama Gie, LSM, dan diskusi-diskusi kecil—masih tersisa sebagai sepotong narasi yang ikut membentuk siapa Prabowo hari ini. (*)
Tinggalkan Balasan