Potensi Rempah Untuk Tingkatkan Kesejahteraan Keluarga, Budi Prasetyawan : Berikan Informasi Secara Terus Menerus ke Masyarakat Tentang Potensi Desa, Beri Contoh Mereka Bagaimana Cara Mengungkap dan Mengembangkan Potensi Desa

Workshop tentang pengolahan rempah khususnya jenis rimpang seperti Kunyit, Jahe, Temulawak, Kencur dan Lempuyang di Desa Penawangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. (Foto: dok. pribadi/Budi)

Ungaran, beritaglobal.net – Sebagai seorang pengusaha di
sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), Budi Prasetyawan, warga Dusun Toyogiri
RT 01 RW 03, Desa Delik, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, merasa prihatin
dengan belum maksimalnya pembudidayaan tanaman rempah, khususnya jenis tanaman
rimpang seperti Kunyit, Jahe, Temulawak, Kencur, Lengkuas dan Lempuyang.
Dimana
jenis – jenis tanaman rimpang atau yang dalam bahasa latinnya disebut rhizome, menurut
Budi, tanaman rimpang selain mempunyai manfaat sebagai bahan obat tradisional
karena mempunyai kandungan minyak atsiri dan alkaloid, tanaman rimpang atau
yang di Jawa Tengah lebih familiar dengan sebutan empon – empon, juga bisa
dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan dan minuman.
Budi Prasetyawan sebagai pendamping Desa Penawangan dan juga sebagai pemilik AIG Bunda Nisa, saat menjelaskan produk hasil olahan rempah – rempah kepada peserta workshop. (Foto: dok. pribadi/Budi)
Budi yang terlahir di Purworejo, 43 tahun silam, kini telah
dikaruniai 4 orang putra/putri, memulai usaha di bidang otomotif, dirinya
melihat data sensus pertanian, saat ini usia petani 75% nya sudah berusia
lanjut (diatas 50 tahun), dan upaya untuk mendidik petani – petani muda masih
sangat minim, khususnya di tingkat desa. “Petani – petani kita saat ini usianya
sudah diatas 50 tahun, dan yang dibawah 50 tahun dari hasil sensus pertanian
beberapa tahun lalu tinggal 25 persen dari jumlah total petani di seluruh
Indonesia. Untuk itu, saya tergerak untuk mencoba menghasilkan produk yang
berkualitas berbasis usaha rumah tangga, seperti halnya yang telah saya coba
adalah rempah, seperti kunyit, jahe dan temulawak,” ungkap Budi kepada
beritaglobal.net, Kamis (13/02/2020).
Budi Prasetyawan yang juga sebagai tenaga pendamping Desa Delik, Tuntang, Watuagung, Tlogo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, berpendapat bahwa perlu
adanya penyampaian informasi yang secara terus menerus oleh Pemerintah Desa,
tentang potensi desa yang bisa dijadikan sumber penghasilan penduduknya. “Saya
lebih berpendapat, bahwa pemerintah desa itu jangan bosan untuk memberikan
sebuah informasi kepada masyarakatnya. Perangkat desa ini jangan bosan untuk
menyampaikan informasi potensi desa yang bisa dikembangkan, bila ini tidak ada
aksi nyata, ada benarnya, bila pemuda di desa tidak tertarik untuk menjadi
petani,” jelas Budi.
Untuk mengembangkan UMKM di desa, Budi memiliki sisi pandang
tersendiri, bahwa di masyarakat umum itu masih memerlukan contoh nyata untuk
menjalankan usaha kecil menengah. Harus ada yang menginisiasi, mendampingi dan
memberikan solusi – solusi tentang bagaimana mengelola usaha dengan baik,
mengembangkan jejaring pasar, mengemas produk sehingga lebih menarik minat beli
konsumen.
Produk olahan rempah – rempah Budi Prasetyawan dengan kemasan modern dari bahan baku lokal di Desa Penawangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. (Foto: dok. pribadi/Budi)
“Saya contohkan tentang pemanfaatan dan pengembangan rempah
– rempah ini. Dasar berfikir saya sederhana, bangsa kita dulu dijajah oleh
bangsa asing karena rempah – rempahnya, kan? Trus, disitu pasti ada potensi
yang luar biasa, tinggal bagaimana kita mengolahnya. Pada tahun 2016 lalu,
akhirnya saya mulai mencoba membuat produk olahan dari Kunir (Kunyit-red) untuk
saya jadikan bahan makanan instant seperti bubuk kunyit, sirup kunyit, bahkan
yang siap minum baik yang diminum hangat ataupun dingin yang lebih segar,”
terang Budi Prasetyawan.
Dari pengalaman yang telah dijalani Budi selama menjalani
uasahanya, mengemas produk bukan sekedar wadah untuk sebuah produk, tapi di
kemasan inilah yang bisa dijadikan sebagai sarana mengenalkan brand lokal untuk
produk hasil dari desa itu. “Minimal kenalkan dan gunakan untuk masyarakat di
desa itu, sebagai contoh beras, buat kemasan beras dengan nama lokal, dan
pasarkan lokal dulu. Evaluasi semua masukan dari konsumen, hal ini penting
untuk peningkatan kualitas produk lokal ke masa mendatang,” jelas Budi.
Dengan produk olahan rempah di bawah brand AIG Bunda Nisa,
Budi sempat meraih penghargaan sebagai juara ke 3 di tingkat Provinsi Jateng
untuk Kategori Minuman IKM Pangan Award pada tahun 2018 lalu. Budi berharap
lebih ada sinergitas anatara pemerintah desa dengan masyarakat, UMKM lokal, karena
semua yang dilirik oleh investor besar itu, semua berasal dari Desa.
“Saya rasakan pengembangan potensi desa itu harus sejalan
dulu visi antara pemerintah desa, masyarakat, pelaku usaha dan adanya dukungan
dari pengusaha besar untuk mengembangkan produk lokal. Berikan contoh,
informasi yang berkesinambungan, agar masyarakat bisa berfikir untuk
mengembangkan potensi Sumber Daya Alam di sekitarnya. Saya pikir, cita – cita
swasembada pangan itu hanya omong kosong tanpa ada cara pandang baru, trigger
untuk pemuda – pemuda di desa,” harapnya.
Story Telling Sebuah Produk Tingkatkan Nilai Jual
Ibarat membangun sebuah rumah tangga, kita harus bersinergi
dulu, sehingga nantinya akan terwujud pola pemberdayaan yang semestinya. Namun
dari semua sinergi tersebut, yang terpenting adalah, bagaiman pelaku IKM
(Industri Kecil Menengah), mau memulai usahanyanya (start up). Saat ini
memasarkan sebuah produk bukan hanya kualitas produknya, terlebih penting
adalah bagaimana produk tersebut dipasarkan dengan sebuah rangkaian cerita
(story telling).
“Ada sebuah story telling tentang produk yang dapat menjual
produk tersebut melebihi kualitas produk itu sendiri. Coba bayangkan, saat
orang mengetahui olahan kunir ini, mulai dari bagaimana cara menananmnya,
membudidayakan, mengolah sebelum menjadi sebuah produk dan kemudian diolah menjadi
produk yang siap dikonsumsi. Disini ada nilai edukasi, pendampingan, dan
praktek nyata dari sebuah pengembangan IKM dari tingkat paling bawah. Kalau
hanya teori, apalah arti semuanya, orang tidak akan tertarik untuk memulai
mengembangkan apa potensi yang ada di sekitarnya,” jelas Budi.
Dengan terlupakannya keunggulan produk rempah – rempah
nusantara, khususnya jenis rimpang, maka jangan salahkan generasi sekarang yang
sudah tidak mengenal apa itu kunyit, apa itu jahe. “Saya pernah memberikan
sebuah workshop di sekolah, dimana yang mengikuti workshop adalah ibu – ibu dari
siswa yang sekolah disitu. Mereka membuat jamu tradisional, dan setelah jadi,
produk olahan mereka diminum bersama anak – anaknya di kelas. Keren kan!
Jangankan anak kota, terkadang anak – anak di desa saja sudah tidak tau kunyit
itu seperti apa, jahe yang bagaimana?” ungkapnya dengan nada tanya.
Budi mengingatkan sebuah fakta sejarah, bahwa bangsa Eropa,
pertama kali datang ke Nusantara adalah mencari sumber rempah – rempah, hingga
akhirnya mereka (khususnya bangsa Belanda) dapat menjajah Nusantara hingga 350
tahun lamanya.  “Kita semua masih ingat
penjajahan bangsa Belanda, dulu bangsa – bangsa Eropa sampai ke Asia mencari
apa? Mereka mencari sumber rempah – rempah, kok sekarang kita mau melupakannya.
Program tanaman obat keluarga (TOGA), sudah tidak pernah tersentuh, padahal
disitu ada nilai lebih yang didapat dari halaman kecil yang kita punya,”
pungkasnya. (Agus Subekti)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!