Dari Sawah ke Pasar: Mengapa Petani Masih Sulit Sejahtera
Laporan: Wahyu Widodo
OPINI | SUARAGLOBAL.COM – Indonesia, negeri yang dikenal sebagai “zamrud khatulistiwa,” memiliki kekayaan alam yang melimpah. Namun, paradoks terjadi ketika negeri dengan tanah subur ini masih berjuang untuk mencapai kemandirian pangan. Para petani, yang seharusnya menjadi garda terdepan ketahanan pangan, justru terjebak dalam dilema kebijakan yang sering kali tidak berpihak pada mereka.
Agus Subekti, pengurus Kelompok Usaha Bersama (KUB) Berkah Karya, menyoroti realitas pahit yang dihadapi petani di Indonesia. Menurutnya, pertanian modern dan berkelanjutan masih sebatas retorika. “Setiap menjelang pergantian kepemimpinan, sektor pertanian selalu menjadi alat politik. Infrastruktur pertanian seperti irigasi, alat modern, hingga subsidi pupuk kerap dijadikan janji kampanye, tapi realisasinya jauh dari harapan,” ujar Agus saat dihubungi suaraglobal.com melalui pesan WhatsApp, Minggu (16/2/2025).
Petani: Pilar Ketahanan Pangan atau Bulan-bulanan Kartel?
Kisah klasik tentang anjloknya harga hasil panen saat produksi melimpah, kelangkaan pupuk, serta minimnya pendampingan teknis bagi petani terus berulang dari tahun ke tahun. Agus menegaskan bahwa petani sering kali menjadi korban permainan kartel dan mafia pangan.
“Petani kita bukan tidak mau maju, tapi sistemnya yang membuat mereka sulit berkembang. Saat panen raya, harga jatuh. Saat butuh pupuk, harganya melambung. Ini lingkaran setan yang terus terjadi,” ungkapnya.
Namun, Agus percaya bahwa pertanian Indonesia masih bisa diselamatkan. Salah satu kuncinya adalah mengembalikan kesuburan tanah dan kemurnian air dengan model pertanian terpadu. Ia mengusulkan optimalisasi pengelolaan sampah organik dan integrasi peternakan dalam sistem pertanian untuk menciptakan ekosistem yang lebih berkelanjutan.
Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Kemandirian pangan bukan sekadar soal swasembada beras atau jagung, tetapi juga kesejahteraan petani yang menggarap tanahnya. Oleh karena itu, Agus menekankan pentingnya pemetaan ulang kelompok tani, pengelolaan komoditas berbasis potensi wilayah, serta kebijakan harga yang benar-benar berpihak pada petani.
“Siapapun pemimpin negeri ini, harus memastikan bahwa hasil pertanian kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jika tidak, kita hanya akan menjadi bangsa konsumen di tanah yang seharusnya bisa memberi makan dunia,” tegasnya.
Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki semua modal untuk mencapai kedaulatan pangan. Namun, tanpa kebijakan yang berpihak pada petani dan pengelolaan sumber daya yang bijak, impian kemandirian pangan hanya akan menjadi wacana yang terus berulang. (*)
Tinggalkan Balasan