Bagaikan Kota Madinah Dengan Piagam Madinahnya, Masyarakat Kota Salatiga Berinteraksi Dalam Balutan Keberagaman Budaya Dan Keyakinan

Warga Kota Salatiga dalam sebuah aksi damai untuk kemanusiaan, bersatunya beragam agama, etnis dan suku bangsa. Mencerminkan tingginya rasa toleransi seperti tertuang dalam Piagam Madinah. (Foto: ASB/14/05/2018)



Salatiga, beritaglobal.net – Terpilih dua kali berturut – turut menjadi salah satu kota paling toleran se Indonesia, membuat Kota Salatiga sering disebut Indonesia Mini, dengan tetap terjaganya kerukunan bermasyarakat dalam beragam agama dan keyakinan, etnis serta suku bangsa dalam masyarakatnya.

Sebutan Indonesia Mini dan salah satu kota dengan toleransi antar masyarakatnya yang tinggi di Indonesia bukan tanpa dasar, seperti di ungkapkan oleh salah seorang Dosen Muda dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, M. Rifa Jamaludin Nasir, M.Si., kepada beritaglobal.net belum lama ini, bahwa dirinya yang merupakan warga pendatang, menyatakan betah dan nyaman hidup serta bekerja di Kota Salatiga, yang mirip dengan Kota Madinah dengan Piagam Madinahnya.

“Saya seneng tinggal di Kota Salatiga, sangat unik dan selama saya berkarya di sini (Kota Salatiga), dengan keberagaman agama, suku bangsa serta kebudayaan, masyarakat Salatiga sangat toleran menjalani kehidupan sehari – hari dengan damai, seperti halnya Kota Madinah dengan piagam Madinahnya,” ucap Rifa kepada beritaglobal.net.

Ketika di tanya lebih lanjut, mengenai alasannya menyamakan Kota Salatiga dengan Kota Madinah, Rifa menjelaskan bahwa dahulu, Kota Madinah didirikan dari berbagai macam agama, suku, dan kebudayaan.

“Di Kota Madinah dahulu tidak hanya ada umat Islam, namun ada umat Nasrani, Yahudi dan perjanjian/piagam Madinah mempersatukan semua masyarakatnya, di Salatiga sangat toleran dengan tidak mudah menyalahkan atau menilai perbedaan dalam wadah kerukunan. Hal itulah yang dipahami orang – orang di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW,” sambung Rifa.

Sedikit menyinggung isi dalam Piagam Madinah, Rifa menjelaskan, “Persatuan Negeri Madinah, disitu dijelaskan bahwa semua umat di Madinah itu satu, seperti halnya Persatuan Indoensia, tidak ada kata – kata Islam, Nasrani dan Yahudi, tidak ada sebutan suku – suku tertentu di dalamnya, ini yang membuat Salatiga seperti halnya Kota Madinah,” jelas Rifa lebih lanjut.

Diharapkan Rifa, bahwa sudah seharusnya semua masyarakat di Indonesia meniru masyarakat di Kota Salatiga, untuk tidak menjelek – jelekkan satu sama lain, karena semua manusia itu ada sisi baik dan sisi buruknya, apalagi menjelang pemilu, jangan karena berbeda pilihan kita tidak mendukung pemimpin terpilih, serta saya harap masyarakat di Salatiga lebih meningkatkan toleransi yang sudah terbangun selama ini.

Baca Juga:  Sigap Warga dan Polisi, Dua Jambret di Manukan Tersungkur Setelah Pengejaran Menegangkan

“Harapan saya, seyogiyanya masyarakat di kota – kota lain di Indonesia ini, meniru masyarakat di Kota Salatiga, untuk tidak menjelek – jelekkan satu sama lain, karena semua manusia itu ada sisi baik dan sisi buruknya, apalagi menjelang pemilu seperti sekarang, jangan karena berbeda pilihan kita tidak mendukung pemimpin terpilih, serta saya harapkan bahwa masyarakat di Kota Salatiga, lebih meningkatkan rasa toleransi untuk lebih menciptakan nuansa kehidupan bermasyarakat yang damai,” harap Rifa.

Drs. Noor Rofiq berbaju koko putih ketika menceritakan Majelis Puasa mengilhami terbentuknya FKUB

Majelis Puasa Mengilhami Terbentuknya FKUB

Senada dengan pernyataan M. Rifa Jamaludin Nasir, M.Si., Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Salatiga Drs. Noor Rofiq, saat ditemui beritaglobal.net di kediamannya, Sabtu (22/09/2018) menyampaikan di Kota Salatiga terdapat semua perbedaan dari sisi keyakinan, suku bangsa dan kebudayaan, namun masih terjalin rasa toleransi yang tinggi.

“Di Kota Salatiga ini terdapat semua agama dengan keberagaman etnis serta suku bangsa,” ucap Noor Rofiq.

Kemudian disampaikan oleh Noor Rofiq tentang toleransi masyarakat di Kota Salatiga sudah terbangun lama dengan diperkuat berdirinya Majelis Puasa hingga adanya FKUB.

“Jauh sebelum ditetapkan FKUB oleh pemerintah pusat sekitar tahun 2006/2007, di Kota Salatiga telah ada forum antar pemuka agama bernama Majelis Puasa (Majelis Pimpinan Umat Agama Salatiga), yang didirikan oleh para pemuka agama Kota Salatiga sekitar tahun 2000/2001, sehingga membuat iklim kehidupan bermasyarakat di Kota Salatiga selalu sejuk, dan damai,” imbuh Noor Rofiq.

Tingginya rasa toleransi antar umat beragama dengan berbagai macam latar belakang etnis dan suku bangsa inilah yang membuat Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI kala itu datang ke Salatiga untuk melihat langsung kegiatan Majelis Puasa dalam mempersatukan umat beragama di Kota Salatiga.

“Atas dasar konsep – konsep menjaga keberagaman dalam setiap kegiatan Majelis Puasa, kemudian mengilhami ditetapkannya FKUB secara nasional,” tutur Noor Rofiq.

Ketika ditanya agenda kegiatan FKUB, dijelaskan oleh Noor Rofiq ada pertemuan para pemimpin keagamaan sebulan sekali untuk membahas segala permasalahan terkait kerukunan, dan mencari solusi terbaiknya sehingga tidak ada gejolak di masyarakat serta memberikan contoh langsung kepada masyarakat pada umumnya.

“Rutinitas pertemuan antar pemuka agama dalam FKUB secara bergantian, sangat penting untuk menangkal masuknya faham radikal yang dapat memecah belah umat beragama, dan terpenting dengan adanya forum komunikasi dalam Majelis Puasa, memberi contoh langsung tentang kerukunan kepada masyarakat luas,” jelas Noor Rofiq terkait agenda kegiatan FKUB.

Baca Juga:  Kolonel Inf Tagor Rio Pasaribu Pimpin Jalan Santai dan Senam Aerobik dalam Rangka HUT Ke-62 Korem 022/PT

Dengan adanya FKUB diharapkan dapat meningkatkan tiga pilar kerukunan yaitu, kerukunan dalam kehidupan beragama, kerukunan dalam kehidupan masyarakat dengan pemerintah dan kerukunan antar umat beragama itu sendiri.

Atas dasar tersebut, Noor Rofiq sependapat bila kesepahaman antar tokoh agama di Kota Salatiga, sama dengan isi Piagam Madinah, “Masing – masing pemimpin umat beragama menjaga kerukunan umatnya. Contoh bila ada faham yang radikal dan negatif dari umat Islam, yang di depan ya umat Islam dan umat beragama lainnya mendukung di belakang dan sebaliknya,” jelasnya.

Noor Rofiq menyampaikan lagi fakta lain tentang tingginya toleransi di Kota Salatiga, “Insya Allah, warga Salatiga tidak akan terpengaruh dengan adanya faham – faham yang negatif. Sehingga bila Salatiga menjadi kota ter toleran se Indonesia sebanyak dua kali berturut – turut, ya sudah wajar, karena adanya acara – acara keagamaan sering dilakukan bersama – sama di satu tempat terbuka, Lapangan Pancasila, Kota Salatiga,” kata Noor Rofiq mantap.

Saat ditanyakan terkait peran dunia pendidikan dalam keaktifan membina penanaman karakter kebangsaan untuk toleransi, Noor Rofiq menyatakan bahwa saat ini sudah sangat berkurang sekali muatan pendidikan yang menanamkan karakter dan budaya dalam menjaga jati diri bangsa Indonesia dalam wadah Bhineka Tunggal Ika.

“Sekarang ini sudah semakin berkurang muatan dalam dunia pendidikan untuk penanaman karakter kebangsaan dan budaya kepada para siswa, sehingga kecenderungan generasi muda sekarang hampir kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia,” jelasnya kemudian.

Terkait akan diselenggarakannya pesta demokrasi tahun 2019, Noor Rofiq sebagai ketua FKUB Kota Salatiga, menegaskan bahwa perbedaan pilihan dalam proses demokrasi untuk warga Salatiga, tidak mengubah sikap saling menghargai. Setelah semua proses demokrasi seperti pemilu dan pemilukada selesai masyarakat segera kembali pada suasana rukun seperti sedia kala. Namun dirinya juga berharap bahwa dunia pendidikan mempunyai peran penting dalam menanamkan karakter kebangsaan, karena pendidikan menjadi saka guru terbentuknya generasi penerus yang tetap memegang teguh nilai – nilai perjuangan, toleransi para pendiri bangsa Indonesia.

“Untuk masyarakat Kota Salatiga tidak pernah bersilang pendapat yang berkepanjangan dalam proses demokrasi, seperti halnya dalam proses pemilu atau pemilukada, setelah semua proses usai ya sudah, masyarakat kembali pada aktifitas semula, namun saya sangat mengharapkan dunia pendidikan juga semakin intens dalam menanamkan pendidikan karakter kebangsaan, karena dunia pendidikan merupakan saka guru terbentuknya generasi penerus yang tetap memegang teguh nilai – nilai perjuangan, toleransi para pendiri bangsa Indonesia,” tegas Noor Rofiq.

Baca Juga:  Sindikat Curanmor Bersenjata di Jawa Timur Terkapar: Tiga Tersangka Ditangkap, Satu Berpistol Airsoft Gun

Pandangan Walikota Salatiga: Toleransi Tumbuh Dari Kesadaran Masyarakat Kota Salatiga Sendiri

Secara terpisah, Walikota Salatiga Yulianto, S.E., M.M., saat ditemui beritaglobal.net di ruang kerjanya di rumah dinas Walikota, Jalan Diponegoro, menyampaikan bahwa adanya FKUB menjadikan masyarakat Kota Salatiga selalu memegang teguh rasa toleransi.

“Kota Salatiga ini kota heterogen, namun heterogenitas tersebut bukan sebagai penghambat, namun menjadi penyemangat untuk tetap bersinergi dan berpartisipasi aktif bersama membangun Kota Salatiga, baik dari tokoh masyarakat, tokoh agama, masyarakat umum dan swasta,” kata Yulianto.

Kemudian Yulianto menjelaskan lebih lanjut tentang keberagaman dan rasa toleransi masyarakat Salatiga, yang tidak lepas dari peran serta Pemerintah Kota Salatiga dalam membina kerukunan dan toleransi.

“Hal ini tidak lepas dari peran serta pemerintah Kota Salatiga dengan memfasilitasi dialog para tokoh – tokoh agama baik secara formal maupun nonformal dari tingkat kota, kecamatan, dengan mengajak para tokoh agama dan tokoh masyarakat studi banding ke kota/kabupaten lain untuk lebih mengenal secara jauh dan membuka wawasan mereka agar dapat memahami setiap perbedaan,” tutur Yulianto.

Yulianto melanjutkan bahasannya terkait perbedaan, “Perbedaan bukan sebagai sebuah masalah namun perbedaan menjadi sebuah kekuatan, untuk tetap bersinergi, saling memberi masukan sehingga dapat melengkapi satu sama lain,” tuturnya.

Untuk dukungan di bidang penelitian akademis tentang heterogenitas masyarakat Kota Salatiga seringkali sebagai acuan untuk kota/kabupaten lain, dan Walikota Salatiga Yulianto, memberikan ruang kepada para akademisi untun meneliti lebih jauh mengenai kerukunan di Kota Salatiga.

“Pemerintah Kota Salatiga terbuka pada penelitian tentang keberagaman,” imbuh Yulianto.

Ditegaskan oleh Walikota Salatiga, yang berkeinginan menciptakan kehidupan bermasyarakat yang bertoleransi tinggi tumbuh dari masyarakat Kota Salatiga sendiri, yang ingin hidup damai dan berdampingan dengan rukun.

“Kesadaran bertoleransi, tumbuh dari masyarakat Kota Salatiga dengan sendirinya,” sangar.

Hal ini karena tingkat pendidikan masyarakat Kota Salatiga relatif tinggi dan didukung oleh angka kemiskinan yang rendah di Kota Salatiga. (Choerul Amar/Agus S)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!