Opini Redaksi: Kepemimpinan Sambernyawa Adalah Pemimpin Merakyat

Istana Mangkunegara dari depan. (Dok. net)
Beritaglobal.net,
Ungaran – 
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I
alias Raden Mas Said, tokoh yang pejuang yang dikenal sebagai arsitek militer
serta memiliki karakter kepemimpinan yang kuat ini, meletakkan dasar fondasi
prinsip kepemimipinan di era penjajahan Belanda sekitar tahun
1749-1757 Masehi. Dengan semboyan Tiji Tibeh dan Tri Dharma. Tiji
Tibeh
bisa diurai mati siji, mati
kabeh dan mukti siji, mukti kabeh
(mati satu, mati semua dan sejahtera
satu, sejahtera semua).  Sedangkan Tri
Dharma (tiga kebaktian) adalah memuat prinsip bernegara yang mengatur hubungan
antara pemimpin, rakyat, dan tanah airnya. Penjabaran Tri Dharma adalah (1) Mulat sariro hangrasa wani (berani
instrospeksi diri), (2) rumangsa melu
handarbeni
(wajib merasa memiliki), (3) wajib
melu anggondheli
(wajib ikut mempertahankan).
Dengan dasar falsafah Tiji
Tibeh
dan Tri Dharma inilah, kekuatan tempur para pejuang dibawah
kepemimpinan KGPAA Mangkunegara I, sangat ditakuti lawan, dan disegani oleh
rakyat.  Sehingga Gubernur Pesisir Jawa
Bagian Timur Laut kala itu, Baron van Hohendorff, memberinya sebutan Pangeran
Sambernyawa. Bila kita menilik sejarah pendirian bangsa Indonesia, kita patut
berbangga dengan apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita, falsafah Tiji Tibeh dan Tri Dharma sudah
mendahului jauh sebelum bangsa Eropa merancang konsep bernegara dengan semboyan
right or wrong is my country sekitar
awal abad ke – 19, Pangeran Sambernyawa atau KGPAA Mankunegara I telah
merumuskannya dengan sempurna dalam Tri Dharma.
Tri Dharma mengandung spirit jati diri manusia yang cinta
ketinggian martabat, kemerdekaan, kebangsaan, kebersamaan, tanggung jawab dan
solidaritas yang tinggi.

Mulat sarira hangroso wani,
adalah kewajiban memahami diri
sendiri dalam introspeksi agar dapat mengatasi segala rintangan yang menghambat
perbaikan diri. Dengan introspeksi inilah akan timbul kesadaran kesetiakawanan,
dalam bernegara, karena dalam prinsip ini, memuat “hak dan kewajiban” warga
negera sebagai dasar kokoh berdirinya sebuah bangsa. Melu handarbeni,
merupakan pengejawantahan dari kesadaran bahwa Negara bukanlah milik raja semata
(sekarang Presiden ataupun pemimpin daerah-Red), namun milik semua rakyat.
Penyadaran inilah yang dapat dipandang sebagai “kontrak sosial” antara raja dan
rakyat sebagai peletak dasar budaya demokrasi.

Prinsip ketiga dalam Tri Dharma adalah wajib
melu anggondheli
yang mengajarkan kewajiban untuk mempertahankan Negara bagi
raja atau pemimpin dan rakyat secara bersama – sama, menurut sejarawan Sartono
Kartodirdjo, prinsip inilah sebagai prinsip lahirnya Nasionalisme di Nusantara.
Memimpin adalah merakyat
Dalam
menyimak “pelajaran” dari keteladanan Pangeran Sambernyawa, kita bisa melihat
fakta dan realita sekarang ini, jarak antara pemimpin dengan rakyatnya begitu
lebar, relasi elite dengan kaum alit (rakyat kecil), seolah terjadi hanya pada
ritual lima tahunan yang amat formalistic dan kalkulatif. Karena dalam laku
hidup keseharian para elite dan pemimpin kita memperlihatkan sikap anomali;
individualis, memperkaya diri, bahkan tak segan menilep uang – uang yang
sejatinya diperuntukkan untuk rakyat.
Berkaca
pada tauladan sang Pangeran Sambernyawa, yang selalu dekat dengan rakyat, bisa
dilihat dari bagaimana Pangeran Sambernyawa tidak pernah memperlakukan
prajuritnya sebagai bawahan apalagi budak, tetapi sebagai sahabat dalam
perjuangan. Hal ini, ia buktikan dengan kesetiaan terhadap rakyatnya dengan
hidup di sebuah hutan di pedalaman selama bertahun – tahun. Karena Pangeran
Sambernyawa sadar betul bahwa rakyat adalah asset untuk meraih kemenangan, begitu
juga dalam membangun bangsanya, karena itu, Pangeran sambernyawa menempatkan
rakyat sebagai tujuan dari perjuangannya. 
Hingga suatu ketika, pasukannya hamper saja terlena dan lupa diri dalam
luapan euphoria kemenangan, Pangeran Sambernyawa segera menyadarkan mereka
dengan berseru, “Kemenangan ini bukan kemenangan kalian, juga bukan
kemenanganku. Kemenangan ini adalah milik rakyat, karena rakyat ada untuk kita,”
seru sang Pangeran kepada para bala tentaranya.
Kesadaran untuk selalu instrospeksi diri inilah yang membuat
kekuatan Mangkunegara bertambah kuat, karena sang Pangeran mengajarkan bahwa
kemenangan/kesuksesan yang diraih bukan lantaran darah satu orang, bukan pula
kerja satu orang, tetapi hasil kerja kolektif.
Dalam sebuah fragmen sejarah, diceritakan bahwa konon
Pangeran Sambernyawa singgah di gubuk perkampungan kecil untuk beristirahat
dalam peperangan melawan bala tentara Belanda. Dalam persinggahannya inilah
Pangeran Sambernyawa mendapatkan strategi perang untuk mengalahkan pasukan
Belanda yang sudah mengepungnya beserta sisa – sisa pasukannya. Inspirasi
tersebut datang dari ketika Pangeran Sambernyawa menyantap bubur jenang katul
dari seorang Mbok Rondo (Janda Tua) di sebuah gubug. Awalnya Pangeran
Sambernyawa langsung mengambil bubur dari bagian tengah, namun karena bubur
masih panas, membuat lidah sang Pangeran terasa kaku. Hal ini segera diingatkan
oleh Mbok Rondo, bahwa cara menyantap bubur jenang kathul yang masih panas
adalah dengan menyisirnya dari pinggir kemudian baru ke tengah.
“Pangeran, kalau makan jenang kathul itu jangan langsung di
tengah, tapi dari pinggirnya dulu, terus muter, jadi pas sampai tengah kan
sudah dingin,” kata Mbok Rondo.
Mendengar ucapan Mbok Rondo tersebut, Pangeran Sambernyawa
tertegun sejenak dan merenung, sementara pasukan Belanda mulai mencium
keberadaannya dan mengepung setiap sudut kampong tempat Pangeran Sambernyawa
dan pasukannya singgah.  Inspirasi dari
cara memakan bubur panas inilah yang akhirnya membuat sang Pangeran memenangkan
pertempuran dengan cara menyisir pasukan Belanda dengan cara melingkar seperti
saat makan jenang kathul yang masih panas, dan berhasil memangkan pertempuran.
Dari ilustrasi tersebut, nampak jelas bahwa sebagai seorang
pemimpin, Pangeran Sambernyowo tidak segan untuk menerima masukan dari
rakyatnya. Seperti dicontohkan bahwa dirinya tidak melihat siapa yang
mengucapkan untuk memberikan masukan dalam upaya membela kepentingan bangsa,
seperti halnya saran Mbok Rondo dalam cara memakan jenang kathul panas,
dijadikannya inspirasi dalam mengalahkan pasukan Belanda.
Pelajaran penting bagi seorang pemimpin, memang harus mau
mendengar masukan dari rakyatnya sendiri, tentu dengan berbagai cara, bisa
melalui staf, pemberitaan media, berdialog, atau bahkan turun langsung di
tengah masyarakat. Namun sudah barang tentu, bahwa semua itu bukan hanya
pencitraan semata, agar disebut dekat dengan rakyat.
 (Agus Subekti)

Sumber :
berbagai sumber

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!