“Satu Kelurahan Satu Sekolah Negeri”: Jurus DPRD Jatim Atasi Ketimpangan Zonasi Pendidikan di Surabaya
Laporan: Ninis Indrawati
SURABAYA | SUARAGLOBAL.COM — DPRD Jawa Timur menggulirkan sebuah usulan strategis yang digadang-gadang bisa menjadi solusi konkret atas persoalan klasik dunia pendidikan di Kota Surabaya: terbatasnya jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) negeri. Gagasan tersebut datang dari Anggota DPRD Jatim, Lilik Hendarwati, yang mengusulkan program “Satu Kelurahan Satu Sekolah Negeri”.
Menurut Lilik, selama masa reses, ia menerima keluhan yang cukup masif dari masyarakat mengenai sulitnya mengakses sekolah negeri, terutama setelah diberlakukannya sistem zonasi. Di banyak wilayah, orang tua merasa kesulitan menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah negeri terdekat karena ketidakseimbangan jumlah sekolah dan tidak meratanya penyebaran lembaga pendidikan negeri di Kota Pahlawan.
“Banyak orang tua kesulitan menyekolahkan anak mereka ke SMA atau SMK negeri terdekat. Karena jumlah sekolah negeri tidak merata, sistem zonasi malah membuat mereka terpinggirkan,” tegas Lilik, Senin (30/6/2025).
Politisi dari Fraksi PKS ini membeberkan data yang menunjukkan kesenjangan cukup mencolok antara sekolah negeri dan swasta di Surabaya. Dari total 140 SMA, hanya 22 yang berstatus negeri, sementara 118 sisanya adalah swasta. Sementara itu, di jenjang SMK, dari 106 sekolah, hanya 11 yang dikelola negara, sedangkan 95 lainnya merupakan milik swasta.
Ketimpangan itu dinilai Lilik sebagai akar persoalan yang menghambat prinsip pemerataan pendidikan. Ia menegaskan, idealnya setiap kelurahan di Surabaya memiliki minimal satu SMA atau SMK negeri agar akses pendidikan menjadi lebih merata dan adil.
“Jika kita ingin pemerataan pendidikan dan menjamin akses untuk semua warga, maka idealnya satu kelurahan memiliki setidaknya satu SMA atau SMK negeri,” katanya.
Namun, Lilik juga menyadari bahwa membangun sekolah baru dari nol bukan perkara mudah. Tantangan seperti keterbatasan lahan, proses perizinan yang panjang, serta kebutuhan anggaran besar menjadi penghambat nyata. Oleh sebab itu, ia melemparkan alternatif solusi berupa akuisisi sekolah swasta yang sudah layak untuk dijadikan sekolah negeri.
“Sekolah swasta yang sudah layak bisa diambil alih pemerintah untuk dijadikan sekolah negeri. Ini bukan hanya solusi praktis, tetapi juga bentuk hadirnya negara dalam menjamin hak pendidikan warga,” tambahnya.
Usulan ini sontak menarik perhatian banyak pihak karena dianggap mampu memperkuat efektivitas sistem zonasi sekaligus mengurangi beban ekonomi masyarakat. Dengan adanya sekolah negeri di setiap kelurahan, maka siswa tidak perlu lagi bersaing ketat hanya karena lokasi rumahnya kurang strategis, ataupun terpaksa masuk sekolah swasta yang membutuhkan biaya lebih tinggi.
“Pendidikan adalah hak konstitusional. Tidak boleh ada anak yang gagal sekolah hanya karena persoalan jarak atau biaya. Satu kelurahan satu sekolah adalah langkah konkret untuk mewujudkan keadilan pendidikan,” pungkas Ketua Fraksi PKS DPRD Jawa Timur itu.
Usulan ini menandai langkah awal menuju transformasi pemerataan pendidikan di kota besar seperti Surabaya, dan akan menjadi bahan diskusi penting dalam pembahasan anggaran serta rencana pembangunan pendidikan daerah di masa mendatang. Jika direalisasikan, Surabaya bisa menjadi kota percontohan nasional dalam distribusi pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. (*)
Tinggalkan Balasan