Polemik di Balik Muskot Perbasi Salatiga: Klub Non-Pemilik Suara Pertanyakan Proses Demokrasi
Laporan: Wahyu Widodo
SALATIGA | SUARAGLOBAL.COM — Pelaksanaan Musyawarah Kota (Muskot) Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) Salatiga yang digelar baru-baru ini berlangsung panas dan diwarnai ketegangan antarpeserta. Suasana memanas ketika munculnya nama calon ketua di luar bursa yang sebelumnya telah beredar dan disepakati dalam musyawarah pra-Muskot.
Puncak dari proses Muskot ini menetapkan Prof. Yafet Rissy sebagai Ketua Perbasi Salatiga yang baru. Namun, proses pemilihan tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan dari klub-klub peserta, terutama yang merasa tidak dilibatkan secara adil dalam proses demokrasi organisasi.
Sumber persoalan sebenarnya telah muncul jauh sebelum Muskot dimulai. Dari total 11 klub bola basket yang ada di Kota Salatiga, hanya tiga klub yang diakui secara resmi oleh Perbasi Kota, berdasarkan acuan penetapan dari Perbasi Provinsi Jawa Tengah. Ketiga klub tersebut adalah Satya Wacana, Lord, dan Mountville, yang juga menjadi pemilik hak suara dalam Muskot.
Kondisi tersebut menimbulkan kegelisahan di kalangan klub non-pemilik suara. Sebagai bentuk respons, pengurus Perbasi Salatiga menyelenggarakan musyawarah pra-Muskot yang dihadiri oleh seluruh klub, termasuk yang tidak memiliki hak suara. Dalam forum tersebut, para peserta sepakat untuk mengusulkan tiga nama calon ketua yang dianggap mewakili aspirasi kolektif.
Namun, harapan akan proses demokratis itu tampaknya tidak sejalan dengan realita saat Muskot berlangsung. Ketiga klub pemilik suara justru telah membentuk kesepakatan sendiri dan mengusung satu nama calon yang berbeda dari yang diusulkan dalam musyawarah pra-Muskot. Langkah tersebut mengejutkan dan menuai kekecewaan dari perwakilan klub lainnya.
Agus “Gochi”, perwakilan dari klub Rajawali, menyayangkan dinamika tersebut.
“Artinya musyawarah pra-Muskot yang dilakukan kemarin sia-sia,” ujarnya dengan nada kecewa.
Sementara itu, Jalu, salah satu peserta Muskot lainnya, menyebut bahwa apa yang terjadi justru memperkuat kekhawatirannya sejak awal.
“Saya dari awal sudah mempertanyakan, jika pemilik suara hanya tiga ya tidak perlu ada musyawarah dengan klub lainnya,” tegasnya.
Meski atmosfer penuh tanya dan kritik sempat mencuat, jalannya Muskot tetap diteruskan. Tidak banyak peserta yang menginterupsi lebih jauh, hingga akhirnya pimpinan sidang, Arief Sadjiarto, menyatakan bahwa pemilihan telah selesai dan hasilnya sah.
Dengan terpilihnya Prof. Yafet Rissy, Perbasi Salatiga kini memasuki babak baru di bawah kepemimpinan yang masih menyisakan tanda tanya dari sebagian insan basket kota. Harapan ke depan adalah agar pengurus baru mampu merangkul seluruh klub dan membangun ekosistem bola basket Salatiga yang lebih inklusif dan transparan. (*)
Tinggalkan Balasan