Aksi Damai Masyarakat Adat Dayak, PT SKD Diminta Taat Regulasi dan Kembalikan Tanah Leluhur

Laporan: Waspada Gea

KOTAWARINGIN TIMUR | SUARAGLOBAL.COM — Suara gendang dan teriakan lantang menggema di depan Kantor PT Sapta Karya Damai (PT SKD) di Jalan Jenderal Sudirman Km 45, Desa Penyang, Kecamatan Telawang. Ratusan warga adat Dayak Kalimantan Tengah berbondong-bondong datang dengan satu tujuan: menuntut keadilan atas tanah leluhur mereka yang diduga dirampas perusahaan sawit tersebut, (08/10/15)

Aksi damai yang dikawal ketat aparat keamanan ini berlangsung tertib namun sarat emosi. Spanduk dan poster bertuliskan “Kembalikan Tanah Adat Kami”, “Stop Kriminalisasi Tokoh Adat”, hingga “PT SKD Harus Taat Regulasi” memenuhi halaman kantor perusahaan.

Empat Tuntutan Pokok: Dari Pelanggaran IUP Hingga Kriminalisasi

Koordinator aksi, Sapriyadi, S.H., seorang pengacara muda sekaligus tokoh masyarakat adat, menyebut aksi ini lahir dari kekecewaan panjang terhadap PT SKD yang dinilai “tidak beritikad baik” selama bertahun-tahun.

“Kami sudah terlalu lama bersabar. PT SKD mengabaikan kewajiban kemitraan, merampas lahan adat, melanggar aturan konservasi, dan bahkan mengkriminalisasi tokoh adat kami,” tegas Sapriyadi di hadapan massa.

Baca Juga:  Kapolda Jatim Resmikan Groundbreaking Perumahan Bersubsidi di Bangkalan: Solusi Hunian bagi Anggota Polri, Ini Jelasnya 

Dalam orasinya, Sapriyadi membeberkan empat tuntutan utama masyarakat adat:

1. Pelaksanaan Kemitraan Sesuai Izin Usaha Perkebunan (IUP)

Berdasarkan SK Bupati Kotawaringin Timur No. 188.45/605/Huk.Ek.SDA/2014, PT SKD wajib membangun kebun masyarakat bersamaan dengan kebun inti. Namun, lebih dari 11 tahun berlalu, kewajiban itu tak kunjung dilaksanakan.

Warga menuntut agar Bupati mencabut izin usaha bila perusahaan tak segera memenuhi diktum ketiga angka 6 SK tersebut. Mereka juga meminta agar pengelolaan kebun sawit dialihkan ke koperasi desa dengan rincian luas:

Desa Pondok Damar: 437,062 ha

Desa Penyang: 208,506 ha

Desa Natai Baru: 1.368,488 ha

2. Pengembalian Lahan di Luar HGU Seluas 219,7 Hektar

Lahan seluas 219,7 hektar yang berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) diduga masih dikuasai PT SKD tanpa dasar hukum.

“Itu tanah rakyat, bukan tanah perusahaan. Penguasaan sepihak seperti ini jelas merugikan masyarakat dan negara,” seru Sapriyadi.

3. Konservasi Lahan Sempadan Sungai

Warga juga menyoroti pelanggaran lingkungan di tepian sungai seperti Sei Pudu, Sei Angut, Sei Gentui, Sei Simpang Pelantan, Sei Jangkang, dan Sei Binjai. Padahal, SK Menteri Kehutanan No. 335/Kpts-II/1996 mewajibkan adanya zona perlindungan 50–200 meter dari badan air.

Baca Juga:  Satu Desa Satu Duta: Langkah Strategis Pemkab Sidoarjo Angkat Pariwisata Lokal

Aktivitas perusahaan di kawasan ini dianggap mencederai prinsip konservasi dan merusak ekosistem lokal.

4. Hentikan Kriminalisasi Tokoh Adat dan Warga

Sorotan terbesar datang dari dugaan kriminalisasi terhadap tokoh adat Dayak, Ali Boto, yang juga Ketua DPC Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR). Ia kini berstatus tersangka akibat laporan PT SKD.

Kasus serupa juga menimpa beberapa warga, di antaranya Jumsa, Raman, Sudin, Prasetyo, Rugio, Yaddi Berti, Uka, Saripin, Burhan, dan Samsudin.

“Ini bentuk pembungkaman terhadap perjuangan kami. Mereka yang bersuara justru dikriminalisasi,” ujar salah satu peserta aksi.

Klaim Lahan 11 Ribu Hektar Tanpa Ganti Rugi

Sapriyadi juga mengungkap bahwa dari total HGU PT SKD seluas ±11.382 hektar, hanya 256,65 hektar yang telah diganti rugi kepada pemilik tanah adat.

“Lebih dari sebelas ribu hektar sisanya dianggap tanah negara, padahal di atasnya ada kampung, kebun, dan tanah adat yang sudah digarap turun-temurun,” jelasnya.

Baca Juga:  Perkuat Sinergitas dan Tingkatkan Pembinaan Warga Binaan, Rutan Salatiga Gandeng UNDARIS

Ia menambahkan, menurut peraturan Menteri Kehutanan dan Agraria/BPN, lahan yang sudah dikuasai masyarakat adat tidak boleh dimasukkan ke dalam wilayah HGU.

Perusahaan Akhirnya Setuju Berdialog

Usai berjam-jam berorasi, massa akhirnya disambut oleh perwakilan manajemen PT SKD. Dalam pertemuan singkat, pihak perusahaan sepakat menandatangani surat kesepakatan bersama dengan perwakilan masyarakat adat.

Dalam dokumen itu, PT SKD berkomitmen menyelesaikan seluruh tuntutan melalui dialog dan musyawarah yang akan difasilitasi langsung oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur, paling lambat dua minggu setelah aksi.

Selain itu, pihak perusahaan juga menyatakan kesediaan menyelesaikan perkara hukum di Polda Kalteng dan Polres Kotim secara restoratif.

Teriakan Rakyat Adat: “Pemerintah Harus Berpihak!”

Bagi masyarakat adat, aksi ini bukan sekadar protes, melainkan simbol perlawanan terhadap ketimpangan agraria yang mereka rasakan selama puluhan tahun.

“Sudah saatnya pemerintah berpihak pada rakyat, bukan hanya pada korporasi,” tegas Sapriyadi di penghujung orasi, disambut sorak “Hidup Dayak!” dari massa. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!