Amnesti Presiden Prabowo: Koreksi Etis atas Overkriminalisasi dan Jalan Menuju Reformasi Pemasyarakatan

Laporan: Wahyu Widodo

SALATIGA | SUARAGLOBAL.COM – Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengambil langkah berani dan konstitusional dengan memberikan amnesti kepada 1.116 narapidana, sebagian besar merupakan korban dari sistem hukum yang dinilai tidak proporsional. Kebijakan ini bukan sekadar tindakan hukum, tetapi sebuah keputusan etis dan politis untuk mengoreksi disorientasi hukum yang selama ini melahirkan overkriminalisasi dan penjara yang penuh sesak (overcrowding).

Dalam politik hukum, ada kalanya negara perlu melangkah keluar dari teks hukum untuk menyelamatkan semangat keadilan substansial. Amnesti yang diberikan oleh Presiden Prabowo bukanlah bentuk kelembutan atau populisme politik, tetapi sebuah “rem darurat” terhadap sistem hukum yang gagal menyeimbangkan antara legalitas dan keadilan moral. Keputusan ini menjadi bentuk “sovereign decision”, sebagaimana dikemukakan oleh filsuf Giorgio Agamben, yaitu langkah eksepsional negara dalam menghadapi krisis etis yang tidak tertanggungkan oleh sistem hukum biasa.

Bukan Sekadar Pengampunan, Tapi Koreksi Struktural

Secara konstitusional, Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945 memberikan wewenang kepada Presiden untuk memberikan amnesti dengan pertimbangan DPR. Namun dalam konteks ini, amnesti tidak hanya dimaknai sebagai penghapusan pidana, tetapi sebagai dekonstruksi atas kecenderungan negara menghukum tanpa diferensiasi.

Sebagian besar penerima amnesti bukan pelaku kejahatan berat, melainkan pengguna narkoba yang seharusnya direhabilitasi, warga binaan dengan gangguan kejiwaan, narapidana lansia yang sakit parah, atau pelanggar pasal-pasal karet seperti ITE yang hanya mengekspresikan kritik sosial dan satire politik. Ini adalah langkah pengakuan bahwa tidak semua yang legal itu adil.

Baca Juga:  Menggapai Tanah Suci: 485 Jamaah Haji Sampang Mulai Diberangkatkan 8 Mei 2025

Dalam perspektif etika publik dan teori keadilan seperti dikemukakan oleh John Rawls, keadilan bukan hanya soal prosedur legal, tapi juga soal fairness. Maka, ketika hukum kehilangan kepekaannya terhadap fairness, amnesti menjadi cara negara memulihkan keadilan substansial.

Krisis Overcrowding, Gejala dari Overkriminalisasi

Sistem pemasyarakatan Indonesia saat ini berada dalam krisis yang akut. Dengan kapasitas hanya 146.260, jumlah penghuni lapas per Agustus 2025 mencapai 281.743 orang. Rasio petugas jaga terhadap warga binaan di beberapa lembaga pemasyarakatan bahkan mencapai 1:80, yang mencerminkan situasi yang tidak manusiawi dan tidak proporsional, baik dari aspek keamanan maupun rehabilitasi sosial.

Namun, overcrowding bukan penyakit utama, melainkan gejala dari penyakit yang lebih mendalam: overkriminalisasi. Hukum Indonesia kerap menjadikan penjara sebagai satu-satunya solusi terhadap seluruh bentuk deviasi sosial. Pengguna narkoba dipenjara, bukan direhabilitasi. Ekspresi dikriminalisasi, bukan didialogkan. Pelanggaran ringan disamakan dengan kejahatan berat.

Data dari Ditjen Pemasyarakatan menunjukkan bahwa lebih dari 53 persen narapidana adalah pelaku kejahatan narkotika, yang sebagian besar tidak melakukan kekerasan. Mereka adalah pencandu, bukan bandar, namun diperlakukan sebagai ancaman serius. Banyak kasus ringan juga tidak memperoleh mekanisme diversi, yang sebenarnya tersedia secara hukum.

Baca Juga:  Surabaya Tancapkan Komitmen Melawan Pernikahan Anak Lewat PPA Award: Remaja Jadi Garda Depan Perubahan

Paradigma hukum yang terlalu menekankan pada pembalasan, seperti dikritisi oleh Amartya Sen, menjadikan penjara sebagai ruang penderitaan kolektif, bukan sebagai tempat pemulihan. Dalam masyarakat yang menuntut pembalasan, remisi, pembebasan bersyarat, hingga amnesti justru dipandang negatif, padahal merupakan bagian legal dari sistem peradilan pidana.

Momentum Reformasi Hukum: KUHP Baru dan Peran Strategis Bapas

Pada Januari 2026, Indonesia akan mulai memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, menggantikan warisan kolonial yang telah berlaku selama lebih dari satu abad. KUHP baru ini diharapkan menghadirkan pendekatan hukum yang lebih manusiawi dan kontekstual, menekankan pada ultimum remedium dalam perkara ringan, serta membuka jalan bagi pidana alternatif seperti kerja sosial atau denda harian.

Dalam kerangka reformasi ini, peran petugas Balai Pemasyarakatan (Bapas) sangat penting. Mereka kini tidak hanya menjalankan fungsi administratif, tetapi juga menjadi penentu arah proses keadilan restoratif dari awal hingga akhir proses hukum.

Dari Amnesti ke Transformasi Kultural

Amnesti yang dikeluarkan Presiden Prabowo harus dimaknai sebagai awal dari transformasi, bukan akhir. Reformasi lapas tidak cukup hanya dengan menambah kapasitas atau membangun gedung baru. Yang lebih mendesak adalah rekonstruksi makna hukum dan keadilan dalam masyarakat.

Baca Juga:  Rutan Salatiga Pastikan Zero Narkoba Lewat Razia dan Tes Urin, Komitmen Dukung Program Akselerasi Menteri Pemasyarakatan

Selama hukum masih dijalankan tanpa membedakan antara pelaku kekerasan dan korban keadaan, maka legitimasi moral sistem hukum akan terus dipertanyakan. Amnesti menjadi sinyal tegas bahwa negara tidak lagi ingin menghukum atas dasar formalitas semata, tetapi ingin mengembalikan kemanusiaan dalam praktik hukum.

Sebagaimana ditulis oleh Amartya Sen, keadilan adalah pengurangan nyata terhadap ketidakadilan. Maka, jika overcrowding di lapas terus dibiarkan, itu berarti sistem hukum kita sedang memproduksi ketidakadilan secara sistemik.

Penutup: Keadilan Substantif sebagai Kompas Baru

Langkah Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada lebih dari seribu narapidana adalah bentuk keberanian moral dan politik yang jarang terjadi dalam sejarah hukum Indonesia. Ini bukan pelemahan hukum, melainkan penegasan bahwa hukum tidak boleh melupakan keadilan.

Kita memerlukan sistem hukum yang bukan hanya kuat secara prosedural, tapi juga adil secara moral dan manusiawi secara struktural. Amnesti kali ini harus menjadi pengungkit untuk reformasi hukum yang lebih substansial, menuju sistem pemidanaan yang berpihak pada pemulihan, bukan sekadar pembalasan.

Karena keadilan sejati bukan tentang membuat orang menderita, melainkan tentang membuat masyarakat kembali utuh dan berdaya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!