Antusiasme Warga Memuncak! Dugderan 2025 Jadi Ajang Perekat Budaya dan Keberagaman
Laporan: Andy
SEMARANG | SUARAGLOBAL.COM – Suasana Kota Semarang berubah semarak pada Jumat (28/2/2025) saat ribuan warga tumpah ruah di Balai Kota Semarang untuk merayakan Tradisi Dugderan 2025. Festival budaya ini kembali digelar dengan penuh kemeriahan, menandai datangnya bulan suci Ramadhan 1446 H dengan nuansa kearifan lokal yang khas.
Dugderan merupakan tradisi khas Semarang yang telah berlangsung sejak zaman kolonial. Nama “Dugderan” berasal dari bunyi “dug” yang dihasilkan dari tabuhan bedug dan “der” dari suara petasan, simbol kegembiraan menyambut datangnya Ramadhan.
Acara ini dibuka secara resmi oleh Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng, yang akrab disapa Agustin, dengan prosesi pemukulan bedug. Momen sakral ini menandai dimulainya tradisi Dugderan dan mengingatkan masyarakat Semarang bahwa bulan penuh berkah telah tiba.
Pawai Budaya: Perpaduan Tradisi dan Religi
Prosesi Kirab Budaya Dugderan 2025 dimulai pukul 13.00 WIB, setelah salat Jumat. Arak-arakan budaya ini menempuh rute dari Balai Kota Semarang menuju Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), melewati berbagai titik bersejarah seperti Jalan Pemuda dan Alun-Alun Kauman.
Pawai ini diisi dengan berbagai pertunjukan seni, termasuk tari Ratian yang bernuansa Islami, serta iring-iringan replika Warak Ngendog, ikon Dugderan yang melambangkan akulturasi budaya di Semarang.
Menurut Kepala Dinas Perhubungan Kota Semarang, Kusnandir, beberapa ruas jalan mengalami penutupan sementara guna kelancaran acara. Jalan Pemuda di depan Mal Paragon hingga Lawang Sewu serta Jalan Imam Bonjol-Tugu Muda mengalami rekayasa lalu lintas menjadi dua arah.
Warak Ngendog: Simbol Keberagaman Semarang
Dugderan tak lepas dari Warak Ngendog, maskot khas yang menjadi simbol persatuan masyarakat Semarang. Warak Ngendog mencerminkan perpaduan budaya Jawa, Arab, dan Tionghoa, yang sejak lama hidup berdampingan di kota ini.
Seorang budayawan yang turut hadir menjelaskan bahwa Warak Ngendog juga memiliki makna sejarah.
“Dulu, saat pertama kali Dugderan digelar, masyarakat Semarang mengalami krisis pangan, terutama telur. Maka, Warak Ngendog menjadi simbol harapan dan kesejahteraan yang datang saat Ramadhan,” jelasnya.
Wali Kota Agustin, yang dalam acara ini memerankan Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purbodiningrum, menegaskan bahwa Dugderan bukan sekadar festival, tetapi warisan budaya yang harus terus dijaga.
“Tradisi ini bukan hanya tentang kemeriahan, tapi juga mengajarkan nilai kebersamaan, kegembiraan, dan semangat berbagi. Semoga Ramadhan tahun ini membawa berkah bagi kita semua,” ujar Agustin dalam sambutannya.
Lautan Manusia di Balai Kota, Antusiasme Warga Memuncak
Festival ini tidak hanya dihadiri oleh warga Semarang, tetapi juga masyarakat dari berbagai daerah di sekitar Jawa Tengah. Halaman Balai Kota penuh sesak, menciptakan suasana penuh semangat dan kebersamaan.
“Setiap tahun saya selalu datang. Dugderan itu bukan hanya acara budaya, tapi sudah menjadi bagian dari identitas Semarang,” ujar Slamet, warga Pedurungan, yang datang bersama keluarganya.
Anak-anak tampak antusias menyaksikan berbagai atraksi, mulai dari parade kostum, pertunjukan musik tradisional, hingga pesta kembang api yang menutup acara dengan megah.
Semarang Siap Sambut Ramadhan dengan Semangat Baru
Dengan berakhirnya Dugderan, masyarakat Semarang kini bersiap menyambut bulan Ramadhan dengan hati yang lebih damai dan penuh kegembiraan. Festival ini bukan sekadar perayaan tahunan, tetapi juga pemersatu sosial yang memperkuat nilai budaya dan keagamaan.
“Mari kita jaga kebersamaan ini, saling menghormati, dan mempererat persaudaraan selama Ramadhan. Semoga Semarang tetap menjadi kota yang harmonis dan sejahtera,” tutup Wali Kota Agustin. (*)
Tinggalkan Balasan