Jamasan Keris Menjelang Suro: Melestarikan Warisan, Menyucikan Budaya

Laporan: Wahyu Widodo

SALATIGA | SUARAGLOBAL.COM – Menjelang datangnya bulan Suro dalam penanggalan Jawa, nuansa tradisi mulai terasa di sejumlah daerah, termasuk di Kota Salatiga. Salah satu tradisi yang masih dijaga dan dilestarikan sebagian masyarakat adalah jamasan keris, yakni ritual pembersihan senjata pusaka yang sarat nilai filosofis dan budaya.

Tradisi sakral ini bukan hanya soal menjaga kebersihan benda pusaka, tapi juga cermin penghormatan terhadap warisan leluhur yang adiluhung. Hal ini terlihat dari kesungguhan Dekan Bawono, S.Pd., M.H., warga Perumahan Domas, Salatiga, yang sejak pagi Kamis (26/6/2025) tampak serius menjamas puluhan bilah keris koleksinya.

“Nguri-uri budaya ini, Mas. Menjamas keris itu bukan sekadar bersih-bersih, tapi bagian dari pelestarian kearifan lokal. Ada nilai dan pesan filosofis dari tradisi ini yang harus terus dirawat,” tutur Dekan saat ditemui di rumahnya.

Sebagai pecinta dan pemerhati keris, pria kelahiran Solo ini menyimpan lebih dari 40 bilah keris dari berbagai era sejarah, mulai dari zaman Kerajaan Singasari, Majapahit, hingga Mataram. Seluruh keris ia kumpulkan dari hasil berburu ke pelosok-pelosok Jawa, bahkan beberapa didapat dari pewaris empu tradisional. Kecintaannya pada keris bermula sejak ia kuliah di Jurusan Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS), yang kemudian berlanjut hingga kini.

Baca Juga:  Jumat Curhat di Krembangan: Warga Keluhkan Curanmor, Polisi Ajak Peran Aktif Masyarakat

Menurutnya, meski masyarakat umum mengidentikkan ritual jamasan dengan bulan Suro, secara teknis keris dapat dibersihkan kapan saja selama menunjukkan tanda-tanda karat atau korosi. “Kalau sudah mulai kusam, bisa dibersihkan. Karena jika dibiarkan, akan keropos dan hilang nilai estetikanya. Keris itu tidak bisa sembarangan dirawat. Ada teknik dan etika khususnya,” jelasnya.

Dekan menjelaskan, proses jamasan bisa dimulai dari pembersihan ringan menggunakan kuas halus dan minyak. Namun jika kondisinya berkarat parah, keris harus melalui proses perendaman menggunakan air kelapa, dilanjutkan dengan bilasan air jeruk nipis, sabun colek, lalu dibilas air bersih dan akhirnya diminyaki. Untuk urusan minyak, Dekan mengaku lebih memilih membuat sendiri menggunakan minyak klentik dari santan kelapa yang diproses secara tradisional.

“Minyak alami jauh lebih aman, tidak merusak bilah, dan aroma khasnya justru memperkuat karakter pusaka itu sendiri. Saya buat sendiri dari kelapa tua yang diproses sampai keluar minyak murni,” ungkapnya.

Baca Juga:  Polres Nganjuk Gerebek Dugaan Sabung Ayam di Ngronggot, Tindak Tegas Perjudian 

Dekan juga menepis anggapan mistis tentang tradisi jamasan. Menurutnya, pembersihan keris semata-mata bertujuan menjaga kondisi fisik dan nilai seni dari pusaka, bukan tindakan supranatural. “Memberi minyak bukan berarti memberi makan. Itu keliru. Yang kita jaga adalah kebersihannya agar bisa diwariskan ke anak cucu. Kalau sudah rusak, tidak bisa dikembalikan, dan nilai sejarahnya hilang,” tegasnya.

Soal keris bertuah? Dekan tak menampik ada kepercayaan semacam itu. Namun ia menegaskan bahwa segala bentuk kekuatan tetap berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. “Kalau soal tuah atau yoni, itu kembali ke keyakinan masing-masing. Tapi jangan sampai akal sehat dikalahkan oleh mistik,” ucapnya.

Sebagai bangsa Indonesia, ia mengajak masyarakat untuk bangga karena keris—bersama wayang dan batik—telah diakui sebagai Intangible Cultural Heritage oleh UNESCO. “Ini warisan dunia, kita seharusnya bangga dan menjaganya. Jangan sampai anak cucu kita justru lebih kenal budaya luar daripada budaya sendiri,” katanya.

Tak hanya sebagai senjata, keris juga menyimpan kekayaan filosofi dan teknologi. Ia menjelaskan bahwa empu zaman dulu telah mampu memadukan logam-logam dengan titik leleh berbeda—seperti besi, baja, dan bahkan titanium—tanpa alat canggih.

Baca Juga:  Kasatlantas Tulungagung Ulang Tahun ke-34, Media SuaraGlobal.Com Beri Ucapan Spesial

“Bayangkan, nenek moyang kita sudah bisa membuat logam berpola, berpamor, dan tahan ratusan tahun. Itu bukan pekerjaan sembarangan. Belum tentu bangsa lain saat itu bisa melakukannya,” ujar Dekan, yang juga alumni Magister Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.

Setiap keris memiliki identitas unik yang disebut dhapur (jenis bentuk) dan pamor (pola pada bilah). Nama-nama pamor pun memiliki arti dan makna tersendiri. “Misalnya pamor kulit semongko karena mirip kulit semangka, atau pamor blarak karena menyerupai daun kelapa. Ini bukan sekadar estetika, tapi juga sarat filosofi dan doa dari si empu pembuatnya,” pungkasnya.

Tradisi jamasan keris yang masih dirawat oleh warga seperti Dekan Bawono menjadi bukti bahwa budaya luhur masih hidup di tengah arus modernisasi. Sebuah pelajaran tentang bagaimana kita bisa menjadi bangsa yang maju tanpa tercerabut dari akar sejarah dan jati diri. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!