Krisis Konstitusional PBNU: Syuriyah Minta Pengunduran Diri, Pakar Hukum Ormas Angkat Suara
Laporan: Budi Santoso
NGAWI | SUARAGLOBAL.COM — Dinamika internal kembali mengguncang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) setelah Majelis Syuriyah mengeluarkan risalah rapat harian tertanggal 20 November 2025 yang meminta Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), untuk mengundurkan diri dalam waktu tiga hari. Ultimatum tersebut disertai ancaman pemberhentian tidak hormat apabila tidak dipenuhi.
Langkah yang cukup drastis ini sontak menimbulkan perdebatan di internal NU, khususnya dalam aspek legalitas dan prosedur organisasi.
Advokat Nahdliyin: Substansi Ada, Prosedur Dipertanyakan
Advokat sekaligus warga Nahdliyin, Imam Sampurno, SH, menilai bahwa secara substansi, langkah Syuriyah memiliki legitimasi moral dan dasar normatif. Namun secara prosedural, tindakan tersebut belum memenuhi prasyarat sebagaimana diatur dalam konstitusi organisasi.
“Syuriyah memang memiliki kewenangan pengawasan tertinggi (supreme oversight) terhadap Tanfidziyah berdasarkan Anggaran Dasar Pasal 18 dan Anggaran Rumah Tangga NU. Posisi Rais Aam sebagai pimpinan tertinggi organisasi tidak bisa diganggu gugat,” jelas Imam Sampurno saat ditemui di kantornya di Ngawi, Minggu (23/11/25).
Namun Imam menegaskan bahwa pemberhentian antar waktu Ketua Umum PBNU tidak dapat dilakukan hanya melalui risalah rapat harian Syuriyah.
“Ketua Umum dipilih melalui Muktamar ke-34, sehingga mekanisme pemberhentiannya harus mengikuti Peraturan Perkumpulan NU No. 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris dan Pergantian Antar Waktu,” paparnya.
Keputusan Tertinggi: Munas atau Muktamar Luar Biasa
Menurut Imam, terdapat forum yang secara konstitusional memiliki kewenangan mengambil keputusan pemberhentian Ketua Umum.
“Forum yang berwenang adalah Musyawarah Nasional (Munas) atau Muktamar Luar Biasa. Rapat harian Syuriyah itu bersifat rekomendatif, bukan eksekusi langsung,” ujarnya.
Ia menilai ultimatum tiga hari dan ancaman pemberhentian sepihak dapat menjadi cacat prosedur jika dipaksakan.
Tiga Poin Krusial yang Diperingatkan Imam Sampurno
Imam merinci sedikitnya tiga aspek penting yang harus dicermati dalam proses ini:
1. Substansi Tuduhan
Dugaan pencemaran nama baik terkait AKN dan pelanggaran tata kelola keuangan memang termasuk kategori pelanggaran berat berdasarkan Pasal 8 PP No. 13/2025.
2. Prosedur Berjenjang
Prosedur pemberhentian harus melalui mekanisme lengkap melibatkan Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah demi mencapai mufakat organisasi.
3. Risalah Bukan Putusan Final
Risalah rapat harian Syuriyah hanya dapat menjadi rekomendasi, bukan instrumen untuk memberhentikan Ketua Umum secara langsung.
“Jika dipaksakan, keputusan itu berpotensi digugat ke PTUN sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad),” tegas advokat yang juga membuka kantor di Surabaya tersebut.
Seruan Menahan Diri dan Kembali ke Khittah NU
Imam Sampurno, yang berpengalaman menangani sengketa organisasi kemasyarakatan di Jawa Timur, mengajak seluruh pihak bersikap tenang dan kembali pada prinsip musyawarah.
“Solusi terbaik adalah segera diselenggarakannya Munas Alim Ulama atau Munas PBNU untuk mendengarkan kedua belah pihak, memverifikasi tuduhan, dan mengambil keputusan yang sah secara organisasi sekaligus kuat secara hukum,” ujarnya.
Ia menutup dengan penegasan bahwa marwah NU sebagai jam’iyah diniyah harus dijaga, terutama di abad kedua perjalanan organisasi.
Krisis atau Kematangan
Konflik ini kini menjadi ujian tersendiri bagi NU: apakah organisasi akan menyelesaikan perbedaan melalui ukhuwah, musyawarah, dan mekanisme keorganisasian, atau justru membuka ruang bagi campur tangan hukum positif negara.
Waktu yang akan menjawab arah dinamika terbesar dalam tubuh PBNU ini. (*)



Tinggalkan Balasan