Menelusuri Jejak Suci Ka’bah: Simbol Agung Penghambaan Sepanjang Zaman
Editor: Wahyu Widodo
RELIGI | SUARAGLOBAL.COM – Melangkahkan kaki ke dalam Masjidil Haram senantiasa melahirkan rasa takjub dalam sanubari. Meski sudah berkali-kali, suasananya selalu berbeda. Tatapan pertama ke arah Ka’bah seolah menggetarkan hati, menundukkan jiwa, dan menggiring lisan untuk melantunkan doa-doa penuh harap.
Allahumma zid haadzal bayta tasyriifan wa ta’zhiiman wa takriiman wa mahaabatan, wa zid man syarrafahu wa karramahu min man hajjahu aw i’tamarahu tasyriifan wa takriiman wa ta’zhiiman wa birran.
“Ya Allah, tambahkan kemuliaan, keagungan, kehormatan, dan kehebatan pada Baitullah ini. Tambahkan juga kemuliaan, kehormatan, keagungan, dan kebaikan untuk orang-orang berhaji atau berumroh yang memuliakan dan menghormati Ka’bah.”
Dalam pandangan iman umat Islam, Ka’bah bukan sekadar bangunan batu, tapi simbol keabadian arah hidup dan kesadaran tauhid yang melampaui ruang dan waktu.
“Baitullah Ka’bah, di mata batin keimanan umat Islam, tercipta lebih awal dari segala arah dan penjuru dunia tak terbatas,” ujar Prof. Aswadi Syuhadak, Guru Besar Universitas Islam Sunan Ampel, Surabaya, beberapa waktu lalu.
“Kebesaran dan kemewahan jarum jam dinding terbesar sekalipun tertutup oleh tanda kebesaran Baitullah Ka’bah. Puncak tanda kebesarannya ada pada jarum jam mata hati yang hanya terarah pada Sang Pengatur Alam Semesta. Mata batin adalah jarum jam Baitullah, bergerak, berputar, berdzikir, bertasbih, terpancar, terangkat, terpusat dan tertuju pada Sang Pencipta,” lanjutnya penuh makna.
Jejak Wahyu dan Sejarah
Dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 96, Allah SWT menegaskan bahwa rumah ibadah pertama yang dibangun untuk manusia adalah Baitullah di Bakkah (Mekah), yang penuh berkah dan petunjuk bagi semesta alam. Ka’bah pertama kali ditinggikan oleh Nabi Ibrahim AS bersama putranya, Nabi Ismail AS, sebagaimana disebut dalam surat Al-Baqarah ayat 127. Sejak saat itulah, Baitullah menjadi pusat ibadah, salat, tawaf, dan i’tikaf.
Dalam lintasan sejarahnya, Ka’bah mengalami berbagai renovasi. Salah satu momen penting terjadi di masa Dinasti Umayyah. Ketika Hajjaj bin Yusuf Al Thaqafi dan pasukannya memasuki Masjidil Haram pada November 692 M, mereka menyaksikan Ka’bah hasil renovasi Abdullah bin Zubair, yang menyerupai bentuk semula seperti di masa Nabi Ibrahim.
Namun, setelah berkonsultasi dengan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, bentuk bangunan tersebut diubah kembali ke struktur yang dibangun kaum Quraisy. Bahkan, setelah mendengar bahwa perubahan yang dilakukan Abdullah bin Zubair sesuai keinginan Nabi Muhammad SAW, sang khalifah sempat menyesali keputusannya.
“Demi Allah, aku ingin membiarkan apa yang dilakukan Abdullah bin Zubair,” sesalnya.
Pada masa Khalifah Harun Al Rasyid, sempat muncul niat untuk mengembalikan bangunan Ka’bah seperti yang dicita-citakan Nabi SAW. Namun, Imam Malik menasihatinya agar Baitullah tidak menjadi permainan para raja, agar tidak menimbulkan kebingungan dalam hati umat. Maka, niat itu pun diurungkan.
Cobaan Alam dan Keteguhan Iman
Ka’bah juga mengalami ujian alam luar biasa. Pada 19 Sya’ban 1039 H, banjir besar melanda Makkah. Dinding Ka’bah runtuh, namun barang-barang berharga seperti 20 teko emas dapat diselamatkan. Renovasi darurat pun dilakukan oleh Syarif Mas’ud bin Idris, dilanjutkan oleh Syarif Abdullah bin Numa’i, dan dituntaskan oleh tim yang dipimpin Muhammad Affandi bin Muhammad Al-Anqarawi.
Bangunan yang kini berdiri adalah hasil konstruksi dari masa Sultan Murad Khan. Renovasi besar berikutnya baru terjadi pada 1996, ketika semua material kecuali batu-batu aslinya diganti.
Ka’bah dan Getar Rasa di Setiap Hati Muslim
Pada masa Raja Saud, dilakukan penghitungan batu Ka’bah—ditemukan 1.614 batu di dinding luar, dengan ukuran yang bervariasi. Ini mencerminkan betapa telitinya upaya perawatan simbol utama umat Islam ini.
Ka’bah, dengan kesederhanaan bentuknya namun kemegahan maknanya, selalu berhasil menggugah rasa tunduk terdalam. Tangis haru pun kerap mengalir ketika memandangnya, seolah menjadi pengaduan sunyi kepada Rabb semesta alam. Ia tak sekadar bangunan, melainkan rumah suci yang memanggil setiap hati untuk bersujud, menghiba, dan mengingat asal mula penghambaan sejati.
Tinggalkan Balasan