Mengupas Makna dan Filosofi Ketupat: Lebaran Kedua yang Sarat Nilai

Oleh: Wahyu Widodo

SUARAGLOBAL.COM – Lebaran Ketupat baru saja lewat sehari. Namun aroma janur yang masih menggantung di sudut-sudut dapur dan sisa sajian opor di meja makan menyisakan cerita yang lebih dari sekadar tradisi kuliner. Di balik bentuk segi empatnya yang khas, ketupat menyimpan jejak sejarah panjang dan makna filosofis yang kaya, menjadikannya lebih dari sekadar makanan: ia adalah simbol kebudayaan, spiritualitas, dan kebersamaan.

Ketupat: Tak Sekadar Pengganti Nasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ketupat adalah makanan dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman pucuk daun kelapa, direbus, dan biasa dijadikan pengganti nasi. Tapi dalam konteks Lebaran, ketupat bukan hanya soal karbohidrat. Ia adalah ikon, penanda waktu dan momen: saat silaturahmi diperpanjang, ketika tangan yang saling menjabat membawa harapan baru.

Jejak ketupat bisa ditarik hingga abad ke-15, tepatnya di era Kerajaan Demak. Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, dikenal sebagai tokoh yang pertama kali memperkenalkan ketupat sebagai bagian dari dakwah Islam di Jawa. Melalui ketupat, nilai-nilai keislaman disisipkan secara halus ke dalam budaya lokal.

Baca Juga:  Lempar Jumrah, Bukan Sekadar Melempar Batu: Menag Ajak Jemaah Haji Tinggalkan Sifat Buruk di Tanah Suci

Tak heran jika kemudian ketupat menyebar lintas batas: dari Jawa merambah ke berbagai wilayah Nusantara hingga negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura. Semua berawal dari ajakan mengenal Islam lewat kehangatan makanan.

Filosofi dalam Anyaman Janur

Dalam bahasa Sunda, kata “kupat” bermakna larangan untuk ngupat atau membicarakan keburukan orang lain. Sementara dalam kerata basa Jawa, ketupat menyimbolkan ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan laku papat (empat tindakan): lebaran (berakhirnya puasa), luberan (melimpahkan rezeki), leburan (melebur dosa), dan laburan (memutihkan hati).

Bentuk fisik ketupat juga penuh makna. Empat sudutnya melambangkan kiblat papat limo pancer—empat arah mata angin dan satu pusat yang menunjuk pada Tuhan. Janur kuning yang membungkus ketupat berasal dari kata “ja” (jati diri) dan “nur” (cahaya), menyimbolkan cahaya kebenaran dalam hidup.

Baca Juga:  MNEK 2025 di Bali: Latihan Maritim Multinasional yang Jadi Panggung Emas bagi Ekonomi Kreatif Lokal

Menurut penelitian yang dimuat dalam Journal of Ethnic Foods (2018) dan Interdisciplinary Journal of Advanced Research and Innovation (2023), janur yang digunakan dalam ketupat diyakini sebagai simbol keberuntungan, sementara isian beras putih melambangkan kesucian, kekayaan batin, dan kepuasan setelah menjalani laku puasa dan saling memaafkan.

Lebaran Ketupat: Tradisi Bakda yang Dirayakan Seminggu Setelah Idulfitri

Lebaran Ketupat atau Bakda Kupat adalah tradisi yang dirayakan sepekan setelah Idulfitri, tepatnya pada 8 Syawal. Di tahun 2024, hari itu jatuh pada 17 April. Menurut Hermanus Johannes de Graaf dalam Malay Annual, Sunan Kalijaga membedakan dua momen penting: bakda lebaran (setelah Idulfitri) dan bakda kupat (seminggu kemudian), masing-masing punya makna spiritual yang saling melengkapi.

Jika Idulfitri adalah puncak kemenangan spiritual, maka Lebaran Ketupat adalah perayaan sosialnya: saat keluarga besar berkumpul, ziarah ke makam leluhur dilakukan, dan meja makan kembali penuh dengan hidangan khas.

Baca Juga:  Polisi Berhasil Amankan Pengecer Togel di Desa Simo 

Warna-Warni Ketupat Nusantara

Ketupat datang dalam beragam nama dan bentuk: ketupat bareh dari Minangkabau, ketupat katan kapau yang legit, ketupat cabuk rambak dari Solo, hingga ketupat sipulut dari Kalimantan. Masing-masing hadir dengan cita rasa dan filosofi lokal, memperkaya mozaik kuliner Indonesia.

Tapi satu benang merah menyatukan semuanya: ketupat bukan hanya makanan, ia adalah simbol—tentang memaafkan, memulai kembali, dan menghargai nilai-nilai luhur yang ditanamkan para leluhur.

Akhir Kata

Di balik kesederhanaan sebutir ketupat, tersimpan kisah tentang identitas, spiritualitas, dan kebersamaan. Sebuah tradisi yang menyatukan masa lalu dan masa kini dalam satu sajian hangat di meja makan keluarga. Maka, saat lebaran ketupat datang, mari kita rayakan bukan hanya dengan hidangan, tapi juga dengan hati yang bersih dan niat untuk mempererat tali silaturahmi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!