“Ngawi Niteni Geni”: Kepatihan Hidupkan Kembali Api Perjuangan Dua Abad Perang Jawa Lewat Gelar Budaya Minggu Kliwonan
Laporan: Budi Santoso
NGAWI | SUARAGLOBAL.COM – Suasana Gedung Kepatihan Ngawi pada Minggu Kliwon, 9 November 2025, berubah menjadi pusat denyut seni, sejarah, dan spiritualitas Jawa. Melalui tema “Ngawi Niteni Geni” yang bermakna Ngawi Menyimak Api para budayawan, seniman, dan sejarawan bersatu dalam Sarasehan Gelar Budaya Memperingati Dua Abad Perang Jawa, sebuah kegiatan yang bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga menyalakan kembali semangat perjuangan Pangeran Diponegoro di tanah Ngawi.
Kepatihan, Saksi Bisu Masa Lalu
Gelar budaya ini dihelat di Gedung Kepatihan Ngawi, bangunan bersejarah yang dulunya menjadi pusat kegiatan seorang patih pada masa Mataram Islam. Kini, bangunan itu disulap menjadi ruang kontemplasi dan ekspresi budaya.
Dalam sambutannya, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ngawi, Kabul Tunggul Winarno, menegaskan pentingnya melestarikan jejak sejarah ini.
“Kepatihan Ngawi bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah saksi hidup perjalanan kekuasaan dan identitas Jawa. Lewat kegiatan Minggu Kliwonan, kita rawat warisan leluhur dan nyalakan kembali api sejarah yang hampir padam,” ujar Kabul.
Ia menambahkan, kegiatan ini akan menjadi agenda rutin setiap Minggu Kliwon, menggabungkan sarasehan, pertunjukan seni tradisi, dan pameran budaya lokal sebagai bentuk penghormatan kepada para pahlawan dan leluhur.
Semangat Diponegoro di Panggung Rakyat
Suara gamelan berpadu dengan dentuman kendang dan teriakan khas barongan Reog Ponorogo, menggema dari halaman Kepatihan. Penampilan Paguyuban Semut Ireng dari Desa Rejuno, Kecamatan Karangjati, memukau penonton dengan atraksi khas reog lengkap dengan topeng singa barong dan tari jathil yang gagah berani.
Pagelaran ini menjadi simbol bahwa seni adalah nyawa dari perjuangan rakyat Jawa. Api perjuangan Diponegoro tak hanya menyala dalam senjata, tapi juga dalam tarian, warna, dan bunyi yang diwariskan lintas generasi.
Dari Lomba Lukis Hingga Wacana Pemugaran
Selain pertunjukan seni, acara ini juga diwarnai lomba melukis dan mewarnai yang diikuti puluhan anak-anak TK dan SD se-Kabupaten Ngawi. Melalui kegiatan ini, nilai-nilai kepahlawanan dan cinta budaya ditanamkan sejak dini.
“Kami ingin anak-anak Ngawi belajar sejarah dengan cara yang menyenangkan. Mereka menggambar Kepatihan, Reog, dan simbol perjuangan Jawa. Dari sinilah cinta budaya tumbuh,” tutur Kabul Tunggul Winarno.
Dalam kesempatan yang sama, Kabul juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Dinas PUPR untuk melakukan pemugaran Gedung Kepatihan pada tahun 2026, agar lebih representatif sebagai destinasi wisata sejarah dan pusat kegiatan budaya.
“Harapan kami, Kepatihan bisa menjadi ikon wisata budaya Ngawi. Rehabilitasi nanti tetap mempertahankan nilai historisnya, tapi lebih fungsional dan menarik bagi wisatawan,” imbuhnya.
Sarasehan yang Sarat Makna
Hadir pula sejumlah tokoh penting dalam sarasehan ini, di antaranya Akhlas Syamsal Qomar, M.Pd. (sejarawan muda dan penulis buku), Gus Irfan Afifi (budayawan dan pendiri Langgar.CO), serta Dr. Tjajono Widijanto, M.Pd. (sastrawan dan Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Ngawi).
Dalam diskusi bertajuk “Melacak Api Perjuangan Pangeran Diponegoro”, para narasumber menyoroti relevansi semangat Diponegoro dengan tantangan masyarakat masa kini bahwa perjuangan hari ini adalah menjaga identitas, moral, dan kebudayaan bangsa.
Menyalakan Geni Ngawi
“Ngawi Niteni Geni” bukan sekadar slogan. Ia adalah seruan untuk kembali mengenali jati diri dan menghidupkan api perjuangan dalam bentuk baru lewat karya, gotong royong, dan pelestarian budaya.
Dengan semangat itu, Kepatihan Ngawi kini bukan hanya tempat yang menyimpan sejarah, tapi juga ruang yang menumbuhkan harapan. Dari sinilah, geni perjuangan Jawa dinyalakan kembali bukan dengan pedang, melainkan dengan seni. (*)


Tinggalkan Balasan