Subandi dan Golkar: Langkah Strategis atau Api dalam Sekam?
Laporan: Ninis Indrawati
SIDOARJO | SUARAGLOBAL.COM – Langkah politik Bupati Sidoarjo Subandi yang dikabarkan merapat ke Partai Golkar memicu gelombang spekulasi. Bagi sebagian kalangan, ini adalah strategi politik brilian:
dengan hanya lima kursi di DPRD, Golkar bisa saja “menduduki” kursi bupati tanpa repot bertarung di Pilkada. Namun bagi yang lain, ini seperti memantik bara dalam koalisi, terutama di tubuh Gerindra dan Demokrat —dua partai yang berjibaku sejak awal mengusung Subandi dalam Pilkada 2024.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah ini bentuk rekonsolidasi atau justru awal dari retaknya koalisi? Subandi, tokoh yang dikenal pragmatis dan terukur, tentu bukan mengambil langkah ini tanpa kalkulasi matang. Tapi keputusan itu juga membuka ruang tafsir, terutama tentang loyalitas dan etika berkoalisi.
Apa yang Dirasakan Gerindra dan Demokrat?
Gerindra bisa jadi merasa paling dikhianati. Partai berlambang garuda itu banyak berinvestasi secara politik dalam pemenangan Subandi. Sementara Demokrat, meski lebih tenang, tentu tak menutup mata pada dinamika ini. Jika dua partai ini merasa ditinggalkan, maka soliditas koalisi pengusung bisa goyah, bahkan mungkin pecah kongsi.
Namun politik tak selalu hitam putih. Bisa saja langkah Subandi merapat ke Golkar justru bagian dari upaya menyeimbangkan kekuasaan dan menjembatani hubungan antartokoh. Golkar, dengan pengaruhnya di tingkat pusat dan daerah, bisa menawarkan jaring pengaman politik yang lebih kuat bagi kepemimpinan Subandi.
Konstelasi Baru: Kekuatan Warna-Warni
Peta kekuatan politik Sidoarjo kini makin menarik. Ketua DPRD dari PKB (hijau), bupati dari Golkar (kuning), dan wakil bupati dari Demokrat (putih). Meskipun tampak berwarna-warni, ini juga bisa dibaca sebagai simbol inklusivitas—jika dikelola dengan bijak. Tapi jika tidak, pluralitas ini berpotensi menjadi ladang konflik kepentingan yang menyulitkan jalannya pemerintahan.
Resistensi atau Rekonsiliasi?
Bergabungnya Subandi ke Golkar bisa mengundang resistensi, terutama dari partai-partai yang merasa ditinggalkan. Namun, jika Golkar mampu memainkan peran sebagai penyeimbang dan penghubung antar kekuatan politik di Sidoarjo, maka langkah ini justru bisa menjadi pemantik stabilitas.
Pilihan Subandi mungkin mengejutkan, tapi dalam politik lokal, kejutan semacam ini bukan hal baru.
Yang menentukan bukan hanya ke mana ia berlabuh, tapi bagaimana ia mengarahkan kapal pemerintahan. Golkar telah mendapatkan Subandi sementara publik Sidoarjo menunggu: apakah ini awal dari kestabilan, atau gelombang baru yang lebih liar?. (*)
Tinggalkan Balasan