Surabaya Gaungkan Kearifan Lokal di Sekolah Lewat Aturan Wali Kota, Bahasa Jawa Kembali Ke Sekolah
Laporan: Ninis Indrawati
SURABAYA | SUARAGLOBAL.COM – Pemerintah Kota Surabaya kembali menegaskan komitmennya dalam pelestarian budaya daerah dengan meluncurkan kebijakan wajib berbahasa Jawa di lingkungan sekolah setiap hari Kamis. Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2025 ini bukan sekadar seremonial, melainkan bagian dari strategi pendidikan berbasis kearifan lokal yang menyasar seluruh jenjang pendidikan dasar, mulai dari taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah pertama (SMP).
Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Yusuf Masruh, menjelaskan bahwa kebijakan ini tidak hanya bertujuan mengajarkan struktur kebahasaan Bahasa Jawa, namun juga menghidupkan nilai-nilai unggah-ungguh (tata krama) yang terkandung dalam Krama Inggil, Madya, hingga Ngoko Alus. “Kami ingin Bahasa Jawa tidak hanya dipelajari di buku, tetapi digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama di lingkungan sekolah. Hari Kamis akan menjadi momentum bagi siswa dan guru untuk berbicara menggunakan Bahasa Jawa,” ujar Yusuf, (08/07/25).
Modul dan Kolaborasi Budaya
Untuk memperkuat kebijakan tersebut, Dinas Pendidikan menggandeng Balai Bahasa Jawa Timur, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa, serta sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Mereka bersama-sama menyusun modul ajar Bahasa Jawa yang tidak hanya fokus pada tata bahasa, tetapi juga mengintegrasikan sejarah lokal, seni tutur, hingga praktik kebudayaan seperti mendongeng, menembang, dan menulis aksara Jawa.
Sebanyak 24 guru dari jenjang SD dan SMP dilibatkan dalam tim penyusun modul. Para guru tersebut sebelumnya telah menjalani pelatihan intensif di Balai Bahasa Jawa Timur pada akhir Juni 2025. Modul yang kini memasuki tahap finalisasi ini akan dijadikan pedoman resmi pengajaran Bahasa Jawa di seluruh sekolah di Surabaya.
Dialek Khas Surabaya Tetap Dihargai
Meski penekanan utama ada pada penggunaan Bahasa Jawa baku dan sopan, pemerintah kota tetap memberi ruang bagi penggunaan dialek khas Surabaya dalam aktivitas yang bersifat ekspresif dan kreatif.
“Dalam kegiatan seperti mendongeng atau bermain peran, siswa boleh menggunakan logat khas Surabaya. Kata-kata seperti rek, koen, atau cak adalah bagian dari identitas lokal yang harus dirangkul, bukan dihilangkan,” tegas Yusuf.
Pendekatan ini dilakukan agar Bahasa Jawa terasa lebih dekat dan tidak asing bagi pelajar yang sehari-hari menggunakan logat lokal di rumah maupun lingkungan bermainnya.
Lomba Budaya: Belajar yang Menyenangkan
Dispendik juga menggagas penyelenggaraan berbagai lomba berbahasa Jawa untuk membangun antusiasme siswa. Mulai dari lomba cerpen, pidato, puisi, mendongeng, menulis aksara Jawa, hingga tembang dolanan akan digelar rutin antar sekolah.
Program ini diharapkan tidak hanya memperkaya kemampuan berbahasa siswa, tetapi juga menumbuhkan rasa percaya diri, kreativitas, dan apresiasi terhadap budaya leluhur.
Evaluasi Berkelanjutan dan Dukungan Guru
Guna memastikan keberhasilan kebijakan ini, Dinas Pendidikan bersama Balai Bahasa akan melakukan pemantauan berkala, pelatihan lanjutan bagi guru, serta membuka forum koordinasi aktif antarsekolah dan instansi.
Meski tidak ada tahap uji coba di sekolah percontohan, pelatihan menyeluruh untuk guru akan menjadi kunci implementasi program. “Kami percaya, dengan pendekatan menyeluruh dan dukungan guru, Bahasa Jawa tidak akan punah, tetapi justru berkembang menjadi bagian hidup keseharian pelajar Surabaya,” tambah Yusuf.
Bahasa Daerah, Identitas yang Harus Dijaga
Langkah Surabaya ini menjadi salah satu contoh nyata bagaimana bahasa daerah tidak hanya bisa eksis, tetapi juga menjadi jembatan nilai, karakter, dan jati diri generasi muda.
Dengan memulai dari lingkungan pendidikan, Kota Pahlawan menunjukkan bahwa pelestarian budaya bukan sekadar nostalgia masa lalu, tetapi investasi karakter bangsa di masa depan. (*)
Tinggalkan Balasan