Catatan Akhir Pekan Si Cantrik : Asal Mula Jawa Dipa

Ilustrasi Semar Mbangun Kayangan. Net

Sore itu, udara di Kota Salatiga sedikit terasa panas, Cantrik yang sudah berkeliling mencari informasi untuk bahan tulisan nya tentang sedikit cerita budaya dan tanah leluhurnya Jawa Dipa, sedikit memacu sepeda motornya agar segera tiba di pusat kota dan beristirahat sejenak untuk menikmati segelas teh hangat dan sepiring nasi tumpang koyor, makanan favorit kebanyakan warga di Kota Salatiga.

Dilihatnya jam di tangan kirinya, “Oh…masih jam 16.15 WIB,” gumam Cantrik.  Setelah beristirahat sejenak, dan menghabiskan makanan sederhananya, Cantrik menarik kotak tipis dari sakunya, yang tak lain adalah alat komunikasi andalannya, Ponsel Android.

Dibukanya salah satu aplikasi pengirim pesan dan menuju ke suatu nama, ya…kontak Pak Kyai Noor, Pengasuh Pondok Pesantren Al Fatah, yang sedari tadi membuat Cantrik sedikit tergesa dalam perjalanannya dari kota Semarang.

Masih ada waktu sekitar 40 menit sebelum bertemu dengan Pak Kyai Noor di rumahnya. Cantrik dengan santai mengambil sebatang rokok kesukaannya dan menikmatinya sembari menunggu waktu Sholat Isya sebelum bertemu dengan Pak Kyai Noor untuk berdiskusi tentang asal muasal nama tanah leluhurnya beserta makna yang terkandung di dalamnya.

Waktu menderap berjalan pelan, Cantrik duduk sembari menghisap rokok kesukaannya, bersandar di teras masjid, dan menjulurkan kakinya untuk sekaligus berelaksasi.

“Hmmm…damainya malam ini, semoga nanti informasi dari Pak Kyai dapat aku resapi dengan baik,” gumamnya sembari bersandar di teras masjid.

Tepat di hisapan terakhir rokoknya, kumandang adzan Isya, terdengar. Cantrik segera bergegas mengambil air wudhu, dan mengikuti sholat Isya berjamaah.  Selepas Sholat dan berdoa seperlunya, Cantrik segera menghidupkan sepeda motornya untuk menuju rumah Pak Kyai Noor.

“Assalamualaikum….Kyai…Kyai…,” ucap Cantrik sembari mengetuk pintu rumah Kyai Noor.

Sesaat kemudian terdengar suara berat dari dalam rumah,

“Wallaikumsallam…warahmatullah,” suara Pak Kyai terdengar sembari membuka pintu rumah.

“Oh, kowe to nTrik, mrene mlebu,…wis tak tunggu,” kata Kyai Noor.

Segelas kopi panas segera keluar dari dalam rumah Kyai Noor yang telah dipersiapkan untuk berbincang dengan Cantrik.

“Wis tak mulai seko sejarah Kanjeng Sunan kali Jogo sik yo, sak durunge aku cerita tentang Jawa, kaya yang kamu harapkan itu,” buka Kyai Noor.

“Monggo Kyai, saya nderek saja..tak mendengarkan dengan seksama,” jawab Cantrik.

“Jadi, Kanjeng Sunan Kali Jogo itu, sebagai konseptor dan pelaksana tata kota, bahwa alun – alun itu dibentuk segi empat, bukan bunder….segi empat itu yang punya titik – titik filsafat, yaitu syari’at, hakekat, tarekat, dan makrifat.  Di tengah alun – alun itu ada simbol pohon beringin, beringin sendiri dari kata Waro’in,” buka Kyai Noor dalam ceritanya.

“Waro’in itu berarti hati – hatilah kamu dari hiruk pikuknya Alaun – Alaun atau warna – warni manusia yang ada ditempat terbuka itu, tetap berpegang pada dua symbol yaitu Alquran dan Hadist,” cerita Kyai Noor.

“Oh karena itu kenapa kadipaten selalu menghadap ke alun – alu ya, Kyai?” tanya Cantrik.

“Iya, Kadipaten itu, jaman dulu selalu menghadap ke alun – alun itu, agar supaya Raja dapat melihat warganya dan tetap waspada, maka sebelah kanan kadipaten itu pasti Masjid menjadi simbol surga, dan depan Masjid itu pasti ada penjaranya. Katakanlah Ashabul Yamil yang berarti jalan ke kanan itu Surga dan Ashabul Simal jalan ke kiri jalan ke Neraka,” jelas Kyai Noor kepada Cantrik.

Baca Juga:  Naga Kuning Terbang, Meriahkan Peringatan Cap Go Meh di Klentheng Hok Tek Bio

“Saiki itu wis jamane runcah, beringine dipotongi,” tegas Kyai Noor.

Dari sini Kyai Noor mulai bercerita tentang Jawa dari mulai ikat kepala hingga celana dalam berpakaian.

“Simbol – simbol lain dari manusia Jawa adalah, tidak pernah lepas dari tutup kepala. Iket itu dari kata Akoda yak kudu abda, yaitu tali perjanjian yang kuat, disebut iket sebagai simpul perjanjian yang kuat dari manusia kepada tuhannya dan manusia kepada manusia lainnya,” jelas Kyai Noor tentang ikat kepala.

“Simbol raganya, memakai baju takwo, atau baju taqwa. Trus pake jarit, bukan sarung….Jarit itu berasal dari kata Jariyah…orang yang suka menolong,” jelasnya lagi sembari menyeruput kopi hitam panas didepannya.

“Orang jawa tidak pake celana dalam (sempak), tapi pake Sruwal, itu celana panjang dibawah dengkul, hanya pake kolor. Berasal dari bahasa Arab, Sirwalun yang berarti kamu harus punya rasa malu,” jelasnya.

“Jadi lahiriah orang jawa itu adalah taqwa, punya hubungan terhadap Allah SWT sebagai Tuhannya, kehidupannya terhadap sesama manusia harus baik sebagai bukti taqwa kepada Tuhannya, jiwanya sebagai penolong dan dia mempunyai rasa malu yang tinggi,” Kyai Noor berkata dengan semangat.

“La ini yang sudah rusak semua, malah sekarang sudah tidak punya malu….itu dari sisi berpakaian. La celono sing kamu pake itu kan celana Londo…,” seloroh Kyai Noor.

“Wah, la sekarang banyak yang pake celana gemes je, Kyai,” canda Cantrik.

“Wong edan, celono gemes trus gawe kamu terpana ya,” sanggah Kyai Noor sambil terkekeh dan menyalakan sebatang rokok kesukaannya.

Sembari tertawa, Cantrik lalu bertanya tentang benda – benda pusaka yang sering dicari oleh kebanyakan orang bahkan pejabat untuk menambah percaya diri.

“Kalau tentang piandel atau pusaka itu, gimana Kyai?” tanya Cantrik.

“Trus lanjut ke piandel ya…ini yang perlu kamu pahami, sebetulnya orang dulu itu, kuat riyadlohnya, puasa, berzdikir, kuat melek malam, itu merupakan simbol doa,” jelas Kyai Noor kepada Cantrik

“Orang dulu berdoa, Ya Allah, aku memohon agar supaya orang yang memegang kerisku ini, berikanlah keberkahan rezeki, bukan keris itu yang kasih rezeki, tapi tetap Allah, itu hanya simbol, apakah syrik? tidak…karena keyakinanmu tetap ke Allah SWT, bukan karena Keris, Akik, dan tumbak, itu bukan….,” lanjut Pak Kyai Noor.

Kyai Noor mencontohkan bicara para tetua jaman dulu, “Le, moga – moga kowe jadi bocah sing mulyo ya Le, nyoh tak wei sangu. La sangunya wujud keris, batu dan benda – benda pusaka lainnya,” imbuh Kyai Noor.

“Dulu ndak ada duit, jadi dulu yang simbah kasih hanya itu, hanya kasih benda – benda sebagai manifestasi perwujudan doa agara pemegangnya mendapat kemudahan,” kata Kyai Noor menjelaskan.

“Hanya pemahaman orang sekarang saja yang meleset, Trik. Jadi ada persepsi kalau ndak pake benda itu, aku susah..la pemikiran ini yang menjadikan syirik,” kata Kyai Noor sambil mengingatkan.

Baca Juga:  New Galaria, Group Musik Dangdut Dan Karawitan Karang Taruna Desa Sukorejo

“Ayo sambil diminum kopimu…biar ndak spaneng……heheheheh….,” seloroh Kyai Noor kepada Cantrik.

Dan melanjutkan kisahnya pada sejarah kesenian Jawa, dan kesenian apa yang paling bisa diterima oleh orang Jawa.

“Nabi sendiri cinta musik, namanya musik Dhufuf, yaitu kulit yang ditempel satu sisi seperti terbang itu lho. Muatan isinya adalah pesan – pesan kepada masyarakat tentang masalah keimanan, ibadah, hubungan sosial, kepemimpinan saling tolong – menolong yang dipake para wali jaman itu,” jelas Kyai Noor.

“Cuma dalam segi agama yang bermuatan nilai kemaksiatan, membangkitkan nafsu kemudian biduannya itu…..ya itu…..pake pakaian yang seronok, kata – katanya bermuatan nilai – nilai kemaksiatan..itu yang dilarang,” kata Kyai Noor.

“Kalau musik – musik yang membangkitkan semangat kerja, semangat ibadah dan tolong – menolong itu malah bagus…itu yang dipake para wali…,” seloroh Kyai Noor.

“Seperti halnya Gamelan njih, Kyai? Yang dipakai Kanjeng Sunan Kali Jaga untuk mengundang santri – santri dan masyarakat umum,” tanya Cantrik.

“Musik gamelan..itu dipake oleh Sunan Kali Jaga untuk mengundang orang agar masuk untuk mendengarkan pesan – pesan nya,” kata Kyai Noor.

Swlanjutnya, Kyai Noor menjelaskan tentang makna Gapura, “Maka itu, di depan masjid ada namanya Gofuro dari kata Ghofurrurohim (Allah maha pengampun) yang oleh orang kebanyakan disebut Gapura,” jelas Kyai Noor.

Seolah mengerti dengan penjelasan aang Kyai, Cantrik hanya manggut – manggut dan melanjutkan bertanya tentang wewangian yang kemudian dijelaskan oleh Kyai Noor dengan gamblang.

“Untuk wewangian sendiri dalam peribadatan Islam, kita lihat dari epistimologi bahasa Syech Muhammad Abduh sendiri menyebut Nusantara itu Jawa…Jawi…,” buka Kyai Noor tentang Jawa dari asal tata bahasa.

“Makna Jawi…adalah bangsa yg sifatnya perasa…mudah tersentuh, bangsa yang ramah, pengasih dan penyayang, Jawiah. Jawiah sunggul buqhur..dimana daerah yang kayunya menimbulkan getah sebagai perekat. Negeri Jawiah atau Jawa adalah negeri yang menghasilkan kemenyan, kayu Damar, kayu Gaharu. Orang luar saja mengenal Jawa dari situ..sumber wewangi – wangian…,” jelas Kyai Noor.

“Nabi pun menggunakan kayu cendana, gaharu dan wewangian dalam ibadah untuk membangkitkan konsentrasi jiwa. Jawun adalah negeri yang bermasyarakat di daerah pedalaman. Jawiun negeri yang banyak udara pergantian atau pergantian iklim. Negeri yang mempunyai udara baik angin barat, angit laut. Jawun berarti lapangan luas antara bukit – bukit, negeri yang punya wilayah datar diantara bukit – bukit,” jelas Kyai Noor.

“Jawahah adalah negeri yang punya kemegahan, negeri yang penduduknya punya rasa terhormat, punya harga diri. Penduduk yang hidup di negeri qimah rif’ah louhun jinnawiun, kenapa dialeg Jawa dipake..karena orang Jawa susah untuk melafalkan Qimah jadi Gemah. Maknanya negeri yang sangat berharga, bertingkat tinggi, menyimpan segala rahasia surgawi…kan top sekali….,” ucap Kyai Noor sambil mengacungkan jempol ke arah Cantrik.

“Ini orang Arab dulu melihat negeri Jawa itu sudah seperti itu….Ditinjau dari istilah nama negri ini Jawa Diba atau disebut Jawa Dipa…la kalimat aduba ya yadubu adaban atau adaba yadibu adban, yu’addibu idaban, adubun adiba,” jelas Kyai Noor.

Baca Juga:  Wedding Henna, Antara Estetika Dan Budaya

“Maknanya apa Kyai?” tanya Cantrik.

“Apa maknanya? Beradap, berlaku baik, berakhlak baik, suka membuat jamuan dan jika dihubungkan dengan kalimat Jawa menjadi Jawa Adiba. Dalam lughot Arab, jika ada huruf a atau alif dua huruf bertemu, dapat dibaca dan atau harus dibaca satu dengan bunyi panjang atau berulang kemudian kalimatnya Jawa Adiba atau Jawa aDiban, menjadi berbunyi Jawa Diba sebab akhiran tanwin pada akhiran alif atau huruf layinah atau ya’ bisa berbunyi diwakofkan berbunyi panjang juga menjadi akhirnya klimat Jawa Adiba atau Jawa Adiban menjadi Jawa Diba,” jelas Kyai Noor.

Menegaskan makna Jawa Diba, Kyai Noor menambahkan, “Makna rangkaian itu mempunyai makna filsafat Jawa Dipa adalah suatu negeri yang mempunyai daerah lapang yang luas yang terbentang dicelah – celah bukit, memiliki perganitan musim, udara cerah, serta sumber bahan kemenyan, getah dan kayu damar. Penduduknya hidup dan bermasyarakat di daerah pedalaman, memiliki penduduk yang keahlian dan kecakapan sebagai pelaut, petani. Dan penduduknya berakhlak baik, beradap, ramah – tamah suka menjamu tamu, merakyat, mudah bergaul, bersaudara, mempunyai sifat dan tabiat harga diri dan berkemegahan,” kata Kyai Noor.

“Negeri makmur gemah ripah loh jinawi, negri yang makmur bernilai tinggi, menyimpan rahasia surga. Dan bukan dari Bahasa Sansekerta..itu sudah digambarkan oleh orang – orang Arab,” jelas Kyai Noor lagi.

“Bahkan..Nabi Muhammad SAW, itu sudah menyabdakan sudah menjadi budaya dan watak serta etika akhlak bangsa nusantara ini mayoritas adalah suku Jawa yang nJawani yang keberadaan mereka bermukim di pulau – pulau di bumi Nusantara, sehingga watak tabiat, akhlak dan kejiwaannya di terima oleh bangsa di Nusantara,” kata Kyai Noor.

“Sabda Nabi Muhammad SAW tentang Jawa adalah Li qulin rin’im jawani’un wabarroni’un faman aslahat jawaniyahu aslahuallahu barroniyahu waman afsada jawaniyahu afsadawallahu barroniyahu,” jelas Kyai Noor dalam bahasa Arab.

“Artinya apa Kyai?” tanya Cantrik kemudian.

“Setiap manusia memiliki tabiat Jawani dan Barroni, keyakinan hati dan akhlak lahiriyah, barang siapa mampu menjadikan keyakinan hatinya baik, maka Allah SWT menjadikan akhlak lahiriyah nya baik. Barang siapa akhlak batiniahnya rusak, maka Allah SWT akan menjadikan akhlak lahiriyah nya rusak,” tegas Kyai Noor mantap.

“Wajah orang Jawa telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW seperti itu, maka kadang orang Jawa dibilang wong Jawa ora nJawani. Wong jowo kui wataknya pemberani, yen mbok apikki…wo…..kabeh dikasihke, tapi kalau kau menyakiti hatinya…wo…ojo wani – wani…,” ucap Kyai Noor menggambarkan sifat orang Jawa.

“Wis yo…ini dulu…besok lagi….kita sambung lagi….ben kowe mudeng lan paham leluhur kita dulu sudah sangat tinggi sejarah peradabannya..besok lanjut lagi ke kisah Raja Shima,” tutup Kyai Noor mengakhiri diskusi awalnya tentang sejarah Islam dan Jawa.

“Njih Kyai, akan menarik besok kayaknya? Saya mohon pamit,” ucap Cantrik.

“Ya…hati – hati di jalan, tansah eling dan waspada,” pinta Kyai Noor sembari mengantar Cantrik ke pintu rumahnya.

“Assalamualaikum Kyai,” pamit cantrik kepada Kyai Noor.

“Walaikumsallam…warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Kyai Noor.

Penulis : Agus Subekti, Choerul Amar, Fera Marita
Sumber : Drs. Noor Rofiq
Editor : M. Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!