Patriotisme Pierre Andries Tendean Dalam Buku Biografi “Sang Patriot, Kisah Seorang Pahlawan Revolusi”
Magelang, beritaglobal.net – Peristiwa 30 September 1965 menyisakan halaman gelap dalam lembaran buku sejarah Republik Indonesia. Meski sudah terjadi 54 tahun yang lalu, peristiwa ini masih membekas dan masih menghantui sebagian besar masyarakat Indonesia, namun tetap saja, ada rasa haus dan rasa penasaran untuk mengetahui fakta dan konteks rangkaian peristiwa yang terjadi saat itu. Keran informasi yang mengalir deras sejak reformasi tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas informasi yang muncul. Sejarah menjadi rawan dengan bias informasi, sejarah bukan lagi milik sang pemenang, namun menjadi milik sang pencerita.
Untuk itulah, disampaikan Penhumas Akmil Lettu Nurul Muntaha, kepada beritaglobal.net, Senin (29/04/2019), Gubernur Akmil Mayjen TNI Dudung Abdurachman selenggarakan bedah buku dengan judul “Sang Patriot, Kisah Seorang Pahlawan Revolusi”, di Gedung Leo Kei Lola Akademi Militer, bersama penulis dan editor buku, Abie Besman dan Emailda Bahtiar, pada Sabtu (27/04/2019) lalu.
Lettu Nurul Muntaha dalam reales tertulisnya menyampaikan harapan Gubernur Akmil kepada 200 Taruna peserta bedah buku, bahwa peristiwa yang tertuang dalam buku tersebut adalah sebagai gambaran bagaimana jiwa patriot seorang perwira sehingga para Taruna nanti kedepan sebagai kader pemimpin, akan mencontoh bagaimana Patriotisme.
Dua bulan pasca peluncuran buku Sang Patriot, Biografi Resmi Pierre Andries Tendean di Perpustakaan Nasional, 25 Februari 2019. Perjuangan tujuh orang anak muda nonsejarawan diantaranya Abie Besman, Iffany Saktya, Irma Rachmania Dewi, Laricya Umboh, Neysa Ramadhani, Noviriny Drivina dan Ziey Sullastri akhirnya menghasilkan sebuah buku yang menjadi buku pertama dalam rentang waktu 54 tahun sejak tragedi 1965 yang mengangkat sosok Pierre Tendean dari sudut pandang keluarga dan rekan-rekan dekatnya.
“Berbagai tempat, dokumen dan kesaksian dari siapa pun yang mengetahui langsung sosok Pierre Tendean menjadi menu sehari – hari bagi mereka selama 2 tahun terakhir. Salah satu yang kerap menjadi pertanyaan adalah sosok pribadi Pierre Andries Tendean. Nama Pierre, meski kerap dijadikan sebagai nama jalan, bangunan atau monumen tak membuat sang pemilik nama dikenal terang benderang. Banyak informasi mengenai Pierre yang berkembang liar tanpa pernah diketahui kebenarannya,” imbuh Lettu Nurul Muntaha.
Peluncuran buku ini juga mendapatkan apresiasi dari keluarga besar Tendean, yang menyambut ketulusan dan kerja keras anak – anak muda ini dengan tangan terbuka. “Sudah saatnya Pierre dikenal publik sebagai Pierre yang sesungguhnya,” kurang lebih seperti itu makna yang tersiratkan dan tersuratkan oleh Mitzi Farre dan Rooswidiati Tendean, sebagai kakak dan adik Pierre Tendean kepada penulis. Sebuah perjalanan yang melelahkan dan menguras tenaga bahkan air mata.
Bersamaan dengan peluncuran buku cetakan kedua, 27 April 2019, sebuah diskusi dan bedah buku juga diselenggarakan di Akademi Militer, Magelang. Selain menghadirkan editor sekaligus penulis buku, Abie Besman, Gubernur Akademi Militer Mayjen TNI Dudung Abdurachman juga menjadi salah satu pembicara dalam diskusi yang melibatkan Civitas Akademika Akmil dan juga para taruna. (Eko Triono)
Sumber : PENHUMAS AKMIL
Tinggalkan Balasan