Kirab Malam 1 Suro: Magnet Budaya dari Keraton Surakarta yang Sarat Makna dan Spiritualitas
Laporan: Yuanta
JAKARTA | SUARAGLOBAL.COM — Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, memberikan apresiasi tinggi terhadap pelaksanaan Kirab Malam 1 Suro yang digelar oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Jawa Tengah. Dalam keterangannya, Fadli menyebut bahwa kirab tersebut merupakan magnet kebudayaan nasional yang sarat makna dan patut dilestarikan.
“Harapan kita bersama, kegiatan-kegiatan budaya seperti ini yang berpusat di Keraton Surakarta akan terus terawat, berkembang, semakin meriah. Dan terus menjadi magnet kebudayaan yang menginspirasi,” ujar Fadli Zon sebagaimana dikutip dari laman resmi RRI, Jumat (27/6/2025).
Tradisi Penuh Filosofi dan Spiritualitas
Kirab Malam 1 Suro merupakan ritual tahunan dalam menyambut Tahun Baru Jawa, yang jatuh pada 1 Suro dalam kalender penanggalan Jawa. Tradisi ini dilaksanakan dengan penuh khidmat dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritualitas, penghormatan terhadap leluhur, serta doa untuk keselamatan masyarakat dan bangsa.
Prosesi dimulai dari doa bersama di Pendhapa Ageng Keraton, kemudian dilanjutkan dengan kirab berjalan kaki secara tapa bisu (tanpa suara dan tanpa alas kaki) mengelilingi kawasan sekitar keraton. Jalur kirab umumnya membentang sepanjang 7 hingga 8 kilometer, yang dilalui oleh para peserta dengan kesadaran penuh sebagai bentuk refleksi dan laku batin.
“Kirab ini bukan hanya tontonan, tetapi juga tuntunan. Ia mengingatkan masyarakat Jawa dan bangsa Indonesia pada nilai-nilai luhur: kesunyian, pengendalian diri, serta menyatu dengan alam dan leluhur,” tambah Menteri Fadli Zon.
Pembedaan dengan Tradisi Mangkunegaran
Kirab Malam 1 Suro yang diselenggarakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memiliki ciri khas yang membedakannya dari kirab serupa yang dilakukan oleh Pura Mangkunegaran. Perbedaan paling mencolok terletak pada waktu pelaksanaan dan rute kirab.
Jika Mangkunegaran menggelar kirab lebih awal di malam hari, Keraton Kasunanan memilih dini hari sebagai waktu utama prosesi. Selain itu, rute kirab dari Keraton Kasunanan juga lebih panjang, karena melewati sejumlah wilayah di luar tembok keraton, melibatkan masyarakat secara lebih luas.
Barisan kirab dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet, kerbau pusaka yang dianggap suci dan dipercaya membawa berkah. Sosok kerbau ini menjadi simbol penting dalam tradisi kirab dan menjadi pusat perhatian masyarakat.
Di belakang Kyai Slamet, berbaris abdi dalem, cucuk lampah (pembuka jalan), prajurit keraton, dan keluarga besar Kasunanan Surakarta, disusul oleh masyarakat umum yang sebelumnya telah mengikuti rangkaian ritual penyucian di dalam keraton.
Makna Sosial dan Budaya yang Kuat
Tradisi ini bukan sekadar acara budaya tahunan, melainkan penyambung jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu kesadaran spiritual kolektif. Kirab menjadi ajang penyatuan nilai-nilai luhur, memperkuat identitas kultural masyarakat Jawa, dan menarik perhatian banyak wisatawan serta pemerhati budaya baik dari dalam maupun luar negeri.
Kirab Malam 1 Suro telah berkembang menjadi ikon budaya yang mendunia, sekaligus cermin dari keberlanjutan warisan tradisi Nusantara di tengah modernitas.
“Kita harus menjadikan kirab ini sebagai warisan budaya tak benda yang terus kita rawat bersama. Bukan hanya untuk warga Surakarta, tetapi juga untuk seluruh rakyat Indonesia,” pungkas Fadli Zon.
Kirab Malam 1 Suro bukan hanya sebatas ritual tahunan. Ia adalah perjalanan spiritual, budaya, dan sejarah yang membentuk wajah kebudayaan Indonesia. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, tradisi seperti ini menjadi penjaga jati diri bangsa yang tak ternilai. (*)
Tinggalkan Balasan