Ruwatan Sukerta 1959/2025 di Temanggung: Kirab Suro dan Wayang Kulit Semarakkan Malam Penuh Makna di Vihara Dharma Sarana
Laporan: Wahono
TEMANGGUNG | SUARAGLOBAL.COM – Suasana khidmat dan sakral menyelimuti Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, saat perhelatan Selamatan Bulan Suro dan Pagelaran Wayang Kulit dalam rangka Ruwatan Sukerta 1959/2025 Bina Manggala Sejahtera, yang digelar di halaman Vihara Dhamma Sarana, Selasa malam (22/7/2025).
Kegiatan ruwatan ini telah menjadi agenda tahunan selama empat tahun terakhir dan menarik perhatian berbagai kalangan, tidak hanya dari Temanggung, tetapi juga tokoh-tokoh budaya dan spiritual dari luar daerah seperti Blitar, Surabaya, Jombang, Ponorogo, dan Kediri. Tercatat sekitar 50 peserta ruwatan turut hadir, dengan niat membersihkan diri dari sukerta—beban spiritual atau kutukan yang diyakini menghalangi keberkahan hidup.
Rangkaian acara dimulai sejak malam hari dengan kirab Suro, di mana para peserta ruwatan dan masyarakat sekitar melakukan prosesi berjalan kaki mengelilingi Dusun Krecek. Kirab ini tidak hanya sebagai pembuka, tetapi juga sebagai simbol pembersihan diri dan lingkungan, yang kemudian berakhir di lapangan dusun dan kembali ke halaman vihara sebagai titik pusat kegiatan.
Dalam sambutannya, Camat Kaloran, Juli Riastiana Trisnamurti, S.Sos., M.M., menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sekaligus bagian dari pelestarian budaya Jawa yang kental dengan nilai spiritual dan penghormatan terhadap leluhur.
“Kegiatan ini adalah salah satu bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan rejeki yang berlimpah. Bagi saudara-saudara yang diruwat, ini menjadi ikhtiar untuk menghilangkan sukerta dalam diri agar dibebaskan dari marabahaya serta diberikan keberkahan hidup,” ujar Juli.
Ia juga menekankan pentingnya menanamkan kesadaran budaya kepada generasi muda, khususnya masyarakat Kaloran dan sekitarnya.
“Kirab ini bukan hanya seremoni, tetapi penghormatan terhadap warisan budaya yang masih hidup. Kita ingin anak-anak muda memahami keberagaman budaya di Desa Getas dan terus melestarikannya,” tambahnya.
Puncak acara ditandai dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk yang menggambarkan perjuangan dan keutamaan hidup dalam bingkai nilai-nilai luhur Jawa. Pagelaran ini sekaligus menjadi doa kolektif bagi para peserta ruwatan, masyarakat sekitar, dan bangsa Indonesia agar senantiasa dijauhkan dari mara bahaya dan diberi kedamaian.
Makna simbolik dari ruwatan ini sangat dalam: mulai dari spiritualitas, penghormatan terhadap leluhur, hingga harapan baru untuk kehidupan yang lebih baik. Filosofi yang hidup dalam setiap elemen acara menjadi bukti bahwa budaya Jawa masih kuat berakar, tak lekang oleh zaman, dan mampu merangkul siapa saja—baik dari dalam maupun luar tanah Jawa.
Dengan semangat kebersamaan, spiritualitas, dan budaya, Ruwatan Sukerta 1959/2025 menjadi contoh konkret bagaimana tradisi bukan hanya dirayakan, tetapi juga dimaknai, agar terus mengakar dalam kehidupan masyarakat modern. (*)
Tinggalkan Balasan