Semangat Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Roh Perjuangan Pangeran Sambernyowo

Gerbang Agung menuju komplek pemakaman Mangkunegoro I dan III dengan gaya arsitektur Hindu


Karanganyar, beritaglobal.net – Sebagai anak bangsa, sudah sepatutnya kita meneladani perjuangan para pahlawan yang telah berjasa mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan dari penjajah asing.

Keteladanan ini masih dapat kita saksikan dari peninggalan para tokoh besar di Nusantara, salah satunya adalah persemayaman terakhir Raden Mas Said atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa yang kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegoro 1.

Beritaglobal.net berkesempatan masuk ke komplek pemakaman Astana Mangadeg di kaki Gunung Lawu, tepatnya Dusun Babadan, Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, dimana disemayamkan Pangeran Sambernyowo, KGPAA Mangkunegoro III, putera puteri, istri (selir) dan para pengawal setia, Jumat (01/06/2018).

Bersamaan dengan tanggal 1 Juni yang ditetapkan Pemerintah RI sebagai hari lahir Pancasila, nilai – nilai perjuangan Pangeran Sambernyowo yang berpegang teguh pada peri kehidupan dan kehidupan yang bersumber pada hakekat diri manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan kemudian tertuang dalam Sila Kesatu Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, filsafat hidupnya mengenai kemandirian, kebebasan dalam kebersamaan ini patut direnungkan kembali oleh generasi muda bangsa Indonesia demi menyongsong hari esok yang lebih baik.

Dikisahkan oleh juru kunci Astana Mangadeg, Loso (55), julukan Sambernyowo bukan tanpa dasar. Dikisahkan singkat oleh Loso, tentang semangat juang Pangeran Sambernyowo beserta rakyat dan pengikut sang Pangeran yang tidak mengenal rasa takut dan pantang menyerah dalam menghadapi penjajah Belanda (VOC).

Baca Juga:  Bareskrim Polri Tetapkan Eks Pegawai BPOM Tersangka Kasus Pemerasan dan Gratifikasi
Loso (tengah) juru kunci Astana Mangadeg

“Semangat juang Gusti Pangeran Sambernyowo beserta rakyat Mataran dan bala tentaranya waktu itu yang tak pernah gentar dan pantang menyerah dapat menjadi suri tauladan,” ujar Loso kepada beritaglobal.net, Jumat (01/06/2018).

Lebih lanjut Loso mengisahkan bahwa setiap lawan yang berhadapan dengan pasukan Pangeran Sambernyowo selalu berakhir dengan kekalahan dan banyaknya korban di pihak lawan. Prinsip kebersamaan dengan semboyan Tiji Tibeh atau Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh (Mati satu mati semua dan sebaliknya bahagia satu bahagia semua), menjadikan momok tersendiri bagi lawan – lawan sang Pangeran, sehingga oleh lawan dan kawan R. M. Said dijuluki Pangeran Sambernyowo.

Jiwa seorang pejuang sejati yang rela berkorban dan berpegang teguh pada prinsip kebebasan dan kemerdekaan serta mau menanggung resiko untuk berlaga di medan tempur guna membela keadilan dan kebenaran, menjadi dasar Pangeran Sambernyowo rela meninggalkan keraton Mataram dan berjuang bersama rakyat tertindas yang gandrung kemerdekaan.

SloganTiji Tibeh inilah yang mengikat tali batin antara Gusti (pimpinan) dan Kawula (rakyat), sehingga mereka luluh menjadi satu dalam kata dan perbuatan, maju dalam langkah dan derap yang serasi, mereka menjadi keluarga besar yang bagai tak terpisahkan, bagai kata pepatah ‘Serumpun bagai serai, seliang bagai tebu’ dalam istilah jawa Nebu Sa’uyun.

Loso kembali mengisahkan tentang kehidupan pribadi R.M. Said yang terlahir sebagai putera mahkota namun tersisih dari kehidupan keraton Mataram, terlahir pada 07 April 1725 dari ayah Kanjeng Pangeran Aryo Mangkunegoro yang dibuang Belanda ke Srilanka (Ceylon) pada saat R.M. Said berusia dua tahun dan ibu R. A. Wulan putri dari Pangeran Balitar yang meninggal waktu melahirkannya. Tumbuh besar tanpa orang tua semenjak kecil, dalam bahaya dan kemelaratan serta konflik di istana Mataram, membuat R.M. Said dan dua adiknya R.M. Ambia dan R.M. Sabar, tak kuasa berdiam diri melihat kakacauan yang terjadi di dalam keraton sebagai ulah politik adu domba Belanda, yang akhirnya menyengsarakan rakyat Mataram.

Baca Juga:  Diduga Rem Blong Terjadi Tabrakan Karambol di Jalan Wonosobo Dieng

Menginjak usia 16 tahun atau sekira tahun 1740, R.M. Said beserta kedua adik dan dibantu sahabat – sahabat kecilnya mulai turun ke arena pertempuran karena terpengaruh perlawanan etnis tionghoa kepada Belanda mulai dari Batavia dan kemudian menyebar ke daerah – daerah lain.

Perjuangan selama 16 tahun dari tahun 1740 hingga 1757 R.M. Said, dengan taktik perang dedemitan dan wewelutan (gerilya yang sangat melelahkan Belanda dan banyak menimbulkan korban di kalangan serdadu Belanda), membuat Belanda dan pihak Keraton Mataram dibawah pimpinan Pangeran Mangkubumi akhirnya memberikan kebebasan kepada R.M. Said dengan tanah seluas 4.000 karya mulai dari Kaduang, Laroh, Matesih, Wiroko, Hariboyo, Honggobayan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan selatan dari jalan post Kartasura – Solo, Mataram (ditengah – tengah kota Yogya) dan Kedu, pada perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 di Kali Cacing Salatiga.

Baca Juga:  Menari Bersama Sang Polisi: Aipda Matroni Rajut Harkamtibmas Lewat Gerak Tradisi di Kota Magelang

Semenjak itu, kedudukan Pangeran Sambernyowo atau Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro tak beda dengan raja – raja Jawa lainnya, namun KGPAA Mangkunogoro 1 tidak diperkenankan duduk di atas singgasana, mendirikan balai witana, mempunyai alun – alun beserta sepasang pohon beringin kembar dan menghabisi nyawa.

Perjuangan panjang dengan landasan Tri Darma, Mulat Sariro Angroso Wani (Kenalilah dirimu sendiri dan menjadi kuat serta pandai), Rumongso Melu Handarbeni (Anggaplah milik Praja adalah juga milikmu), Wajib Melu Hangrungkepi (Kewajiban siap sedia membela kepentingan Praja), melegenda hingga kini. Dari beberapa pengunjung yang ditemui beritaglobal.net terdapat serombongan anak – anak muda dari kawasan Tawangmangu, Michael Jonathan Condro Suharto (21), mewakili empat rekannya mengatakan, “Kami kesini adalah dalam rangkaian napak tilas perjuangan para pendiri bangsa, dalam moment hari lahir Pancasila, kami sebagai generasi bangsa memaknai Pancasila sebagai dasar negara yang telah mencakuo banyak aspek dari mulai Ketuhanan, Kesejahteraan, Kemanusiaan dan Keadilan Sosial, dan kami berharap Pemerintah dapat semakin mengentalkan nilai – nilai dalam Pancasila kepada masyarakat luas.”

Secara terpisah seorang pengunjung dari Surakarta, Arifin (40), mengaku takjub dengan kondisi Astana Mangadeg yang bersih dan masih dalam kondisi terawat sejak dibangun tahun 1971 lalu di era pemerintahan Presiden Suharto. Ia takjub akan kolaborasi budaya Islam dan Hindu, tampak pada semua ornamen berbau arsitektur Hindu dalam nuansa Islam yang kental dari keyakinan Pangeran Sambernyowo beserta pera wadyabolo (kawan – kawan). (Agus S)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini